Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Lounge

Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 15th April 2016
Nyimas432's Avatar
Nyimas432 Nyimas432 is offline
Ceriwiser
 
Join Date: Apr 2016
Posts: 373
Rep Power: 10
Nyimas432 mempunyai hidup yang Normal
Default Misteri Supersemar, Surat Perintah 11 Maret 1966





Sebelumnya Cek dulu

Bongkar Konspirasi Hebat: Antara John F. Kennedy, Sukarno, Suharto dan Freeport

Terkuak: Misteri Luka Jenazah 7 Pahlawan Revolusi!



BIAR GIMANAPUN TETEP CINTA INDONESIA GAN


Spoiler for SUPERSEMAR:



yang versi ke tiganya belum nemu gan maaf
</span></span>



Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).



Dari segi isi, kata Asichin, beberapa versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya ada perbedaan dari versi pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat poin yakni:

I. Mengingat,

II. Menimbang,

III. Memutuskan/Memerintahkan dan

IV. Selesai.



“Bedanya, di versi kedua tidak ada IV. Selesai,” ujar Asichin.



Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.



Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.



Jelas keterangan ini menyudutkan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat. Sebab, dengan Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu memang diinginkan oleh Soeharto. Apalagi, muncul versi Soekarno dipaksa oleh beberapa jenderal utusan Soeharto untuk meneken Supersemar di bawah todongan senjata.



Jenderal M Jusuf, salah satu petinggi AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah mengklaim memiliki naskah Supersemar. ANRI pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri Perindustrian Kabinet Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf pada 8 September 2004, upaya itu gagal.



Pada 31 Agustus 2005, ANRI pernah memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di Makassar. “Namun pengakuan keluarga katanya kami tidak pernah menyimpan”, ujar Asichin.



Pada 2008, pengakuan lain dibuat oleh Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan ayahnya, yang meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar yang ada selama ini adalah palsu.



“Teks itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik,” ujar Ubay saat itu.



Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat sekilas teks tersebut saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya. “Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang,” kata Ubay.



Cek Kosong Untuk Soeharto

Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis.



Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?



Seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.



Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.



Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:

Quote:Pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden.



Kedua
, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.



Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.



Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.



Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosong yang bisa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.



Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.



Menurut Asvi, seharusnya surat kepada militer jelas batas dan jangka waktu pelaksanaannya. Poin ketiga surat lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966 menunjukkan sang presiden telat menyadari ketidakjelasan jangka waktu pelaksanaan Supersemar.



Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang Pemimpin Besar Revolusi tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar terdapat frasa “setelah keadaaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.” Ketarangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.



Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah mengamankan negara atau delegation of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.



Siapa yang mengetik Supersemar?

Kontroversi keberadaan (fisik) dan isi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga diikuti dengan misteri siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian lama kontroversi bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia adalah Letkol (Purn) Ali Ebram.



Saat Supersemar terbit, Ebram adalah Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia mengaku mengetik Supersemar dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang tidak terbiasa mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak itu.



Dalam ‘Kudeta Supersemar’ (Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku dipanggil oleh bosnya Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk membawa mesin tik dan kertas berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang pribadi presiden di Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.



Menurut pengakuannya, di ruang lain, tiga petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu. Keterangan Ebram klop dengan pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia melihat presiden masuk ke kamar dalam waktu yang cukup lama.



Namun, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan lain. Mangil mengatakan, sang pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa kertas dan mesin tik, kata Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat perintah. Sabur, kata dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno mendiskusikan versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh.



Sementara itu, Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang mengetik Supersemar. Dia hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu staf di Istana Bogor.



Sedangkan Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan lain. Dari pengakuan seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini secara tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.



Namun sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi tersebut, berikut pangkatnya.



Pistol di Dada Soekarno

Dada Soekarno malam itu mungkin tak sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana dadamu” kepada Malaysia. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46 itu ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.



Dalam “Mereka Menodong Soekarno” Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.






Kesaksian Sukardjo Wilardjito

</span></span>



Keempat jendral utusan Suharto itu adalah:

1. Muhammad. Yusuf

2. Maraden Panggabean

3. Amir Machmud dan

4. Basuki Rachmat.





Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung Karno”.



Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri.



Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?



Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang tidak kompromistik.



Situasi yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu. Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret.



Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih.



Permintaan itu tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang menandatangani kejatuhannya.



Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan “wahyu sebagai pemimpin” seakan sudah tercabut dari Sukarno.



Sebagai presiden, Sukarno sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.



Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI.



Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno.



Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.



Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya!



Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.



Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.



Salah satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir!



Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan melengserkannya.



Kecurigaan presiden Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya.



Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.



Quote:Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.



Berdasarkan pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?



Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?



LANJUT DI BAWAHNYA

</span></span>


</div></div></div>

Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 02:04 PM.


no new posts