Minggu, 16 November 2008 | 09:44 WIB
MEDAN, MINGGU � Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. "Penanganannya tidak cukup melalui proses hukum, tetapi harus melibatkan institusi yang berfungsi dalam pembinaan mental," kata psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, Anna WD Puba, menanggapi kinerja Polri dalam memberantas aksi premanisme dan kejahatan jalanan, Medan, Minggu (16/11).
Menurut dia, perilaku premanisme dan kejahatan jalanan dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat yang berasal dari belum tertatanya pola pikir dan kesiapan mental dalam menghadapi problematika hidup.
Masyarakat juga tidak dapat mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan atau peluang kerja yang dianggap sulit didapatkan sebagai faktor penyebab munculnya aksi premanisme dan kejahatan jalanan. Sebenarnya peluang kerja itu cukup banyak, tetapi kurang diminati karena dianggap kurang terhormat.
Ia mencontohkan pekerjaan menggali parit atau sebagai petugas kebersihan jalanan yang secara normatif dianggap halal, tetapi dinilai rendahan. Untuk mengatasinya, kata Anna, Polri harus harus melibatkan institusi yang berwenang dalam pembinaan mental, seperti dinas sosial, agar pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu bersedia melakukan pekerjaan apa pun asalkan halal.
Dinas sosial juga perlu menggandeng pihak lain untuk menyalurkan minat dan bakat yang dimiliki pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan tersebut. "Jika (pelaku aksi premanisme dan kejahatan jalanan itu) memang suka berkelahi, mungkin mereka dapat dididik agar menjadi petinju. Itu lebih bermanfaat dan menghasilkan uang," ujar Anna.