FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
||||
|
||||
![]()
PEMUJAAN terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi secara berlebihan dapat menimbulkan sikap hidup yang tidak seimbang. Albert Einstein menyatakan bahwa agama mengarahkan hidup, ilmu memudahkan hidup dan seni menghaluskan serta mengindahkan hidup. Ketidakseimbangan penerapan agama, ilmu dan seni dalam hidup ini akan dapat menimbulkan kehidupan yang pincang. Untuk membangun sikap hidup yang seimbang, agama, ilmu dan seni harus diaplikasikan secara terpadu dengan posisi dan fungsi yang tepat dan akurat.
Penekanan prioritas kehidupan pada bidang ekonomi dengan mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tentunya merupakan hal yang mutlak. Tanpa Iptek, prioritas pada bidang ekonomi tentunya tidak mungkin bisa berhasil dengan baik. Yang patut diperhatikan adalah mengendalikan dinamika penggunaan Iptek jangan sampai tanpa kendali spiritual agama dan seni. Peranan agama dalam hidup ini bermaksud menyangkut aspek spiritual yang dapat memberi arah yang benar, tepat dan akurat. Iptek bertujuan untuk memberikan berbagai kemudahan hidup. Penerapan Iptek seperti itu banyak menimbulkan kenikmatan hidup. Kenikmatan hidup yng dinikmati dengan batas-batas tertentu dengan kesadaran rokhani tentunya memberi makna pada arti kehidupan. Nmaun, kenikmatan hidup tanpa dibatasi berdasarkan kesadaran rohani akan menimbulkan dosa sosial. Demikian menurut pandangan Mahatma Gandhi, Bapak bangsa India. Kemudahan dan kenikmatan yang dapat diberikan oleh hasil pengembangan Iptek itu tentunya patut disyukuri sebagai sebagai anugerah Tuhan. Dengan pengembangan Iptek yang tepat dan akurat, berbagai hal dapat dilakukan dengan cepat praktis dan dapat memberi kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini. Lantas, yang penting patut diperhatikan adalah bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh gaya hidup yang serba praktis, mudah dan nikmat itu. Salah satu yang wajib diwaspadai dari hidup yang serba praktis itu timbulnya sikap hidup yang manja dan menggiring manusia menjadi alatnya Iptek. Manusia dapat terjebak pada pola hidup yang hedonis, hidup hanya untuk mengejar kenikmatan indriawi semata. Seyogianya Iptek itulah sebagai alat manusia untuk mensukseskan tujuan hidupnya. Hidup yang dimanjakan oleh hasil pengembangan Iptek dapat menimbulkan "budaya menerabas" -- budaya yang menimbulkan sikap hidup yang ingin serba cepat dengan mengabaikan berbagai norma hidup. Untuk mendapatkan kekayaan misalnya, orang yang memiliki peluang akan menggaruk kekayaan dengan mengabaikan norma hukum, etika, sopan santun maupun norma agama. Misalnya, dalam mentaati suatu prosedur birokrasi, mereka akan menerabas saja dengan kekuasaan, pengaruh maupun dengan uang. Budaya menerabas inilah akan menimbulkan kolusi, koropsi, dan nepotisme (KKN). Budaya menerabas ini akan melemahkan supremasi hukum maupun moral etik yang berlaku. Untuk suatu urusan di suatu instansi, mereka akan menggunakan prosedur koneksi-koneksi atau juga sogok-sogokan. Kalau punya koneksi, apapun menjadi lancar, tidak perlu melalui prosedur birokasi yang ditetapkan berdasarkan hukum. Demikian pula tidak perlu melalui etika moral. Yang penting untuk mendapatkan sesuatu, dapat diperoleh dengan cepat. Budaya menerabas tanpa diredam dengan moral agama dan seni akan dapat menimbulkan sikap hidup yang keras dan kasar. Hal itu nampak dalam berbagai kegiatan hidup semisal berlalu lintas, ketidaksabaran mengikuti prosedur birokrasi yang wajib melalui suatu prosedur. Masyarakat akan kehilangan kesabaran menunggu suatu proses. Padahal, untuk mencapai apapun membutuhkan proses. Karena budaya menerabas juga, banyak orang tidak malu mendapatkan titel kesarjanan dengan cara membeli. Ada orang yang tidak malu-malu menambahkan Prof. Dr. di depan namanya, padahal mereka tidak pernah diangkat menjadi guru besar di suatu perguruan tinggi. Bukankah gelar Profesor itu adalah jabatan akademis, bukan titel keahlian seperti gelar Doktor? Pun di birokrasi, banyak rumor tentang orang-orang menduduki jabatan tertentu di kalangan sipil maupun militer dengan mengeluarkan sejumlah dana. Tanpa itu, jabatan tidak mereka peroleh hanya berdasarkan kecerdasan dan prestasi kerja. Jadi, budaya menerabas ini sesungguhnya salah satu penyebab munculnya korupsi yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat banyak melihat orang yang tidak memiliki kualifikasi mendapatkan posisi yang enak melalui budaya menerabas. Berbagai norma ataupun kriteria hanyalah bersifat formalistis belaka. Hal itu hanyalah basa-basi saja. Akibatnya, manusia modern makin banyak yang tidak memiliki kesabaran, mentalnya tidak tanggung menunggu suatu proses untuk mencapai sesuatu. Hal ini menimbulkan makin semerawutnya berbagai aspek kehidupan. Segala sesuatunya dilakukan dengan tergesa-gesa agar cepat tercapai apa yang dikehendaki. Karena, kalau ada koneksi dan uang, prosedur yang menjelimet bertele-tele akan menjadi mudah. Kalau tidak ada uang dan koneksi, prosedur yang semestinya mudah menjadi sulit dan bertele-tele. Budaya menerabas tersebut akan membuat mereka yang susah akan semakin susah. Tak ada keindahan dalam kehidupan bersama ini. Hanya dengan mengaplikasikan spiritual agama, ilmu dan seni secara terpadu, budaya menerabas yang negatif itu dapat diatasi. Untuk itu, umat hendaknya memposisikan agama, ilmu dan seni dalam kehidupannya secara empiris dengan tentunya tetap berpegang pada aspek teoritis yang sudah baku. Untuk mencapai perilaku masyarakat seimbang seperti itu, orang tidak mesti melalui proses pendidikan yang sungguh-sungguh. Pendidikan yang sungguh-sungguh itu adalah pendidikan yang memberikan ilmu secara jujur, memberi penerangan jiwa melalui spiritual agama dan memperhatikan setiap perkembangan peserta didik. Setiap peserta didik memiliki kekhasannya masing-masing. Informasi agama dan ilmu yang sama tidak diserap secara sama oleh setiap peserta didik. Setiap peserta didik memiliki kekhasannya masing-masing. Informasi agama dan ilmu yang sama tidak diserap secara sama dan oleh setiap peserta didik. Kekhasan setiap orang perlu mendapatkan perhatian tersendiri dalam menerapkan agama, ilmu dan seni. Dengan demikian akan didapatkan hasil yang semaksimal mungkin dalam pendidikan. Pendidikan yang seimbang seperti itu hendaknya diterapkan dalam pendidikan formal, nonformal dan informal. (I Ketut Wiana) Source : balipost Sumber: http://okanila.brinkster.net/...5&pg=2 |
![]() |
|
|