Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Lounge > Gossip & Gallery

Gossip & Gallery Gossip, artist, images of unique and interesting all here.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 15th November 2011
yudho1's Avatar
yudho1 yudho1 is offline
Ceriwis Geek
 
Join Date: Nov 2011
Posts: 10,852
Rep Power: 28
yudho1 mempunyai hidup yang Normal
Default Norman Edwin Dulu dan Kini, Catatan Sahabat Sang Alam

Catatan Sahabat Sang Alam






Spoiler for cerita 1:




KOMPAS.com - Saat banyak orang di tanah air, baik secara sendiri-sendiri maupun atas nama kelompok



tertentu, berkoar-koar mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau the



Seven Summit, rasanya ada yang "hilang", bahkan hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman



Edwin. Karena memang, kali pertama ide ini muncul di Indonesia datang dari dia, tepat di tengah



ingar-bingarnya gairah pendakian gunung salju di kalangan pencinta atau atau klub pendaki gunung di



seluruh penjuru tanah air.



Membaca buku ini, lembaran-lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide "Tujuh Puncak Dunia"



itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia-nya



ini. Karena dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi "Tujuh



Puncak Benua" sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman dan proyek prestisius tersebut.



Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan, bahwa rasanya tidak "fair"



melupakan sosok Norman dan Mapala UI, --sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program



ekspedisi pendakian puncak gunung-gunung bersalju abadi itu, --yang sudah lebih dulu menancapkan



tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Apalagi, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah



mengantongi lima dari 7 puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid



(Australiasia), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika), serta Elbrus (puncak tertinggi Eropa), dan



Aconcagua (Amerika Selatan).








Spoiler for cerita 2:




Adalah perkenalan Norman dan Pat Morrow pada 1990, yang kemudian menyuntik Norman dan teman-teman



Mapala UI-nya untuk mengibarkan ide Puncak Tujuh Benua tersebut di Indonesia. Pat, pendaki kawakan



asal Kanada yang pada 1985 telah menuntaskan puncak ketujuh dari Tujuh Puncak Dunia-nya di Carstenz



Pyramid, Papua, itu memompa semangat Norman sebagai orang pertama Indonesia yang menjadi the seven



summiteer.



Selanjutnya, ujung pangkal ide Tujuh Puncak Benua itu pun terurai di buku ini. Mulai dari



keberhasilan-keberhasilan cemerlang pendakian di Carstenz Pyramid, Kilimanjaro, McKinley, Elbrus,



hingga kegagalan dan musibah di Aconcagua, gunung tertinggi di benua Amerika Selatan yang akhirnya



merenggut nyawa Norman sendiri dan sahabatnya, Didiek Samsu.



Sekarang ini, setelah Pat Morrow, memang baru dua orang lainnya yang berhak menyandang gelar the seven



summiteers, yaitu Reinhold Messner (Itaia) dan Oswald Ohl (AS). Di Indonesia, kendati telah dibayar



mahal oleh keberhasilan "pendakian ulang" Mapala UI ke Puncak Aconcagua setahun setelah tewasnya



Norman di gunung itu, gairah pendakian Tujuh Puncak Benua di Indonesia pun perlahan seakan meredup.



Masih dua gunung lagi yang harusnya digenapkan Norman dan Mapala UI untuk mencapai gelar itu, yaitu



Vinsson Massif (Benua Antartika) dan Gunung Everest ( Asia).










Spoiler for cerita 3:




Meredup atau tertunda? Kenyataannya, lama setelah ide, cita-cita, serta semangat Norman, yang seolah



lenyap ditelan kepergiannya itu, kembali menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk yang kadang timbul, kadang



pula tenggelam. Perlombaan menduduki urutan berikutnya sebagai pendaki Puncak Tujuh Benua pertama di



Indonesia itu pun masih menjadi "rahasia" yang belum terjawab dan menjadi pekerjaan rumah yang belum



terselesaikan.



Ya, khususnya untuk kelompok Mapala UI, yang secara resmi menjalankan maksud mendiang Norman ini



sebagai proyek Universitas Indonesia yang didukung penuh oleh rektornya sendiri. Sementara umumnya,



Tujuh Puncak Dunia menjadi "proyek besar" tentu nama Indonesia.



Tak ada habisnya



Pada kurun waktu antara 1976-1992, nama Norman Edwin memang sangat identik dengan pendaki gunung,



pengarung jeram, penelusur gua, pengembara ilmiah, pelayar lautan, dan penulis kisah-kisah perjalanan



andal yang sudah punya �umat� tersendiri di Indonesia. Begitulah Rudi Badil, editor buku ini,



menuliskannya.








Spoiler for cerita 4:




Kini, setelah hampir 20 tahun sepeninggalannya, nama itu ternyata masih lekat dalam ingatan sebagian



di antara kita yang pernah mengenalnya. Oh, apakah hanya untuk generasi tua yang pantas mengenal baik



Norman?



Jelas saja, tidak. Buat mereka yang ingin dan perlu mengenalnya lagi saat ini pun dianjurkan mengenal



Norman. Karena buku ini kembali mengetengahkan 64 tulisan Norman tentang pengembaraannya di alam



bebas, ihwal persahabatannya dengan banyak manusia di dataran rendah, tinggi, dan puncak, serta perut



bumi yang terangkum dengan apik.



Asyiknya, buku ini tak cuma menuliskan semua keberhasilan disertai kegirangan Norman di setiap



petualangannya, melainkan juga kegentaran dan kesulitan di tiap jengkal penjelajahannya di hutan-hutan



di Sulawesi, mengarungi derasnya Sungai Kapuas di Kalimantan, menyusup ke perut bumi di Luwong Ombo,



serta mendaki puncak-puncak salju dunia di Kilimanjaro atau McKinley, sampai melayari Lautan Hindia di



atas kapal pinisi Ammana Gappa. Semua ditulis dengan jernih, rinci, dan juga menyentuh.










Spoiler for cerita 5:




Boleh jadi, bagi yang belum sempat mengenal Norman, membaca buku ini akan membuat mereka tercengang.



Manusia "ajaib" macam apa Norman ini? Karena, semua yang berbau kegiatan alam bebas (outdoor activity)



dilahapnya bukan semata sebagai penggiat, tetapi ahli.



Ibarat di dunia persilatan, Norman adalah pendekar kampiun. Ia pelaku, tapi juga pionir yang ahli.



Bedanya dengan pendekar lain, Norman tak pernah pelit mengisahkan ilmunya kepada para penggemarnya di



dunia persilatan itu; dunia kegiatan alam bebas Indonesia.



Buku ini akan menjelaskan, betapa Norman memang bukan sekedar suka-suka untuk menggeluti hobi mendaki



gunung, tetapi pendaki yang memang betul-betul menguasai ilmu pendakiannya secara ilmiah. Untuk



membuktikan itu, Norman mampu membagikan ilmu dan pengalamannya itu dengan enak dan nikmat di media



massa tempatnya berkarya, mulai dari majalah remaja seperti Hai atau Gadis, majalah perjalanan dan



lingkungan seperti Mutiara dan Suara Alam, sampai akhirnya berkarir sebagai wartawan di harian Kompas.



Di jeram-jeram sungai, pengalaman Norman sebagai kapten perahu yang andal dibuktikan ketika ia dan



rekan-rekan rafters-nya atau pengarung jeram, mengarungi Sungai Kayan dan Kapuas (Kalimantan), Alas



dan Tripa (Aceh), serta Progo dan Serayu (Yogyakarta). Norman membuktikan, dirinya memang pengarung



yang ahli, tetapi tetap rendah hati dan merasa bukan manusia yang tak punya rasa takut lantaran dua



karibnya tewas saat menaklukkan jeram-jeram Sungai Alas bersamanya pada 1986. Dengan jujur,



keberhasilannya melampaui banyak sungai-sungai ganas itu tak membuatnya alpa untuk menuliskan



ketakutannya di setiap perjalanan yang dia temui.








Spoiler for cerita 6:




Di dalam perut bumi, Norman juga pionir. Pada periode awal 80-an, Norman sudah menggantung-gantung di



tali untuk menelusuri 150 meter kedalaman Luweng (gua) Ombo, Pegunungan Sewu, Gunung Kidul,



Yogyakarta. Norman pula yang ikut membidani berdirinya persatuan caving dan speleologi Indonesia;



Specavina, serta klub speleologi Gharbabhumi. Perjalanannya menelusup ke Luweng Ombo bersama para



anggota kedua klub itu menjadikan ekspedisi Norman cs dianggap ekspedisi pertama orang Indonesia di



dalam perut bumi Indonesia. Tonggak sejarah caving atau penelusuran gua pun dimulai oleh Norman.



Memang, tak ada habisnya berbicara soal Norman dan petualangannya. Apalagi, "kegilaannya" menjelajah



itu semakin manjadi-jadi setelah ia menjadi wartawan harian Kompas. Tempat-tempat sunyi di ujung-ujung



terluar wilayah jangkauan manusia pun dijelajahinya tanpa luput dilaporkannya dalam bentuk



tulisan-tulisan yang menarik. Termasuk, bagaiman kisah-kisah heroiknya di beberapa perjalanan layarnya



(sailing) di lautan dan samudera luas di dunia.










Spoiler for cerita 7:




Andai (Norman) masih ada



Norman tewas hanya beberap meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang



diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya.



Norman tewas bersama rekannya Didiek Samsu di saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah



ingar-bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu-abu alias SMA,



pecinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub-klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.



Lalu kini, setelah hampir 20 tahun Norman tiada, apa manfaatnya "anak-anak sekarang" perlu mengenal



Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?



Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah



sosok petualangan di "zaman doeloe", memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman



juga sebagai seorang "guru" masa kini yang mau menurunkan ilmunya, karena ilmu itu masih bisa



dimanfaatkan sampai sekarang.



Inilah relevansinya buku ini diterbitkan di zaman 2000-an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau



blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini tak dikenal baik oleh Norman.










Spoiler for sumber:




http://oase.kompas.com/read/2010/06/...at.Sang.Alam-4









[spoiler =sumber ]Laporan wartawan Kompas.com M.Latief[/spoiler]



Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 06:51 AM.


no new posts