FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Barang Antik Tempat jual beli barang antik dan barang kolektor |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Kondisi Barang : Baru
Harga : Lokasi Seller : Kalimantan Selatan Description : SInopsis Buku ttg si PELUKIS Buku The Maestro, Koempoel Sujatno Sepenggal Jejak Soerabaia Tempo Doeloe Dalam ukuran besar, kapal-kapal layar memenuhi lukisan yang didominasi warna biru. Panorama Pelabuhan Oejoeng, Surabaya, pada 1930-an itu menarik dengan warna-warna tebal. Matahari hampir menyentuh cakrawala, hendak tenggelam. Tapi gerobak sapi, becak, mobil, kereta api, dan perempuan-perempuan membawa barang ke kepalanya masih sibuk di tepian. Warna-warna tebal itu mengesankan pelabuhan yang tidak pernah lelah. Ini satu dari belasan lukisan tersebut karya Koempoel Soejatno dipamerkan di Sheraton Hotel, Surabaya, Senin-Rabu (26-28/1) untuk peluncuran buku lukisan The Maestro, Koempoel Sujatno: Tracing the Old Historical City of Soerabaia. Buku setebal 348 halaman yang luks tersebut merangkum seratusan foto dari sekitar 2.500 karya Koempoel, yang terserak di berbagai kolektor, dari Jawa Timur, Jakarta, Medan, Singapura, hingga Belanda, termasuk di antaranya beberapa lukisan Koempoel yang tampil di koleksi Istana Merdeka. Disusun selama tiga tahun, buku ini diterbitkan G & G Foundations. Peluncuran itu dihadiri 300 orang, termasuk pejabat tinggi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pemda Jawa Timur dan Surabaya, hingga Guruh Soekarnoputra. Mereka datang, meskipun Koempoel, yang meninggal 17 tahun silam dalam usia 75 tahun, �kurang diperhitungkan� konstelasi seni rupa kita. Cap ini muncul, menurut pelukis kelahiran Surabaya yang tinggal di Bali, Tejo Suminar, dalam buku Jagad Seni Lukis Koempoel karya Agus Dermawan T., karena produktivitas Koempoel. Ia sering menerima pesanan lukisan. Beberapa kalangan pun mengecap karyanya sebagai kerja mekanis. Sebuah kerajinan, bukan karya seni. Agak berbeda, seniman Surabaya Amang Rahman mencermati Koempoel justru merupakan fenomena seni rupa ideal dan komersial. Setahu Amang, Koempoel bisa bekerja dengan dorongan juragan galeri, sehingga yang diciptakan merupakan pengulangan belaka yang pernah laku. Namun, Koempoel juga acapkali melukis atas kehendaknya sendiri. Intensitas pada proses yang lebih didasari mengejar kedalaman itu yang membebaskannya dari sebutan komersial. Perdebatan itu sendiri tak dipedulikan Koempoel. Karya-karyanya layak dicatat karena nilai historiografinya. Menurut pengamat seni rupa Dr. Jean Couteau asal Prancis, seri kehidupan kota Surabaya adalah saat Koempoel menggunakan teknis impresionis dengan warna hablur dan inpasio (tebal). Ini karena ia menggambarkan kehidupan bukan dalam pengertian bentuk apa adanya, tapi lebih mengedepankan suasana. Tengoklah lukisan besar Handel Straat tentang Jalan Kembang Djepun milik kolektor Belanda. Yang dipotret Koempoel bukan semata jalan, pejalan kaki, pedagang kakilima, tetapi mewujudkan suasana panas dan berdebu. �Dia piawai menorehkan atmosfer kehidupan yang melingkupi keseluruhan obyek itu,� tulis Couteau yang juga penulis seri Indonesian Heritage (1988). Melalui karyanya, denyut Surabaya serasa kekal. Koempoel adalah saksi dari masa lalu yang hilang. Lihat misalnya seri Sungai Kalimas seperti Caster Kade Kalimas dan Kalimas at Plampitan yang dipagari gedung-gedung tinggi. Karya-karya Koempoel menunjukkan seni lukis Indonesia erakemerdekaan lebih rumit daripada yang tampak pada historiografi konvensional. Peristiwa pertukaran budaya Belanda-Indonesia yang cenderung dianggap tidak mempengaruhi Sudjojono dan Persagi, justru mengemuka dalam perjalanan Koempoel. Koempoel Sujatno lahir di Desa Paron, Ngawi, Jawa Timur, 1912. Keluarganya adalah pejabat jawatan kereta api Hindia Belanda, sehingga memungkinkannya mendaftar pada sekolah Belanda, Hollandasch Inlandsche School (HIS), di Genteng Kali, Surabaya. Bakat Koempoel menarik perhatian kepala sekolah, Van Staal, yang lantas memperkenalkannya kepada Gerard Pieter Adolfs, salah satu pelukis pengikut gaya naturalis Mooi Indie (Hindia Belanda Molek). Selama 1928-1932 Adolfs mengajarkan teknik representasi realis yang merupakan kunci suksesnya di kemudian hari. Sejak itu Koempoel mulai melukis tentang Surabaya. Ketika orangtuanya dipindahtugaskan ke Malang, Koempoel bertemu dengan pelukis realis Willem van der Does. Suatu hari Does melihat talenta spesial pelukis muda itu dan bersedia menjadi guru selama tujuh tahun. Pada 1935, seorang dokter ahli kandungan, dr. Soerodjo, terpesona, yang lalu mensponsori pameran tunggal pertama di Jalan Talun, Malang. Setelah Proklamasi 1945, Belanda melakukan Agresi Militer I pada Juli 1947. Koempoel tergerak dan banyak membuat pamflet perjuangan, di antaranya berseru: Darahkoe Merah Tak Soedi Didjadjah! Poster bergambar lelaki kekar membawa pedang berbendera Merah Putih itu ditempel di segala sisi kota Malang serta di Surabaya. Antara 1950-1970-an Koempoel tetap produktif melukis. Perjalanan Koempoel selama tiga zaman menemukan akhir pada 18 Agustus 1987 karena kanker tenggorokan. Ia pergi meninggalkan istri tanpa dikaruniai anak. Di rumahnya di Kaliputih, Batu, Jawa Timur, ia hanya meninggalkan sebuah lukisan terakhir berobyek jembatan Merah. Obyek lukisan terakhir itu, dan juga obyek yang lain, sempat diditelusuri Koran Tempo. Poros Sungai Kalimas dari jembatan Merah hingga jembatan Petekan menyisakan deretan gudang lama yang masih kokoh yang sebagian tidak terawat. Kawasan Pecinan Karet hingga Kapasan dan sekitarnya masih didominasi ruko milik warga keturunan Tionghoa. Juga kawasan Kampung Arab, Pasar Turi, kesibukan tampak dari pagi hingga sore dengan mobil boks, becak, dan sepeda motor berseliweran menggantikan andong dan cikar. Sementara itu, suasana sudut-sudut pasar tradisional sudah tak ada lagi, misalnya Pasar Blauran, gambaran Koempoel sudah tak bersisa lagi sekarang. Di Kembang Jepun, yang dalam kanvas Koempoel bersahaja, kini berubah drastis. Di ujung jalan sepanjang 700 meter itu terdapat gapura besi besar warna merah bertulisan �Pusat Kya-Kya Kembang Jepun�. Ide penataan yang diprakarsai seorang pengusaha sukses Surabaya itu menarik. Tapi sayang, pilar-pilar besi yang dihiasi puluhan lampion berjarak setiap 10 meter tampak terlalu rapat. Belum lagi di setiap tiang terdapat papan reklame produk rokok yang �mengganggu� pandangan mata. Tidak heran muncul gagasan membuat buku mewah ini. Dan buku itu, menurut pengagum Koempoel yang memprakarsai penerbitan, Reno Halsamer, ini disusun bukan karena pertimbangan pasar. �Buku ini murni karena karyanya sangat memikat,� kata Reno yang sehari-hari pengusaha ekskavator. Menurut Reno, buku yang dicetak 1.000 eksemplar ini selain dijual juga dibagikan gratis ke sejumlah kedutaan besar, museum, dan perguruan tinggi. Lukisan Koempoel memang sepenggal sejarah Surabaia. (Dwi Arjanto) dijual salah satu karya beliau yang dahulu sempat dibeli orang kalimantan selatan (banjarmasin) ![]() posisi barang di banjarmasin Harga BEst Offer dengan open price Rp. 25jt Pokoke offer aja berapa ga usah malu2 gan... No Telp. 0852.5128.0565 Iwan |
![]() |
|
|