Login to Website

Login dengan Facebook

 

Post Reply
Thread Tools
  #1  
Old 18th November 2010
Ulama
Ceriwis Lover
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 1,239
Rep Power: 16
Ulama mempunyai hidup yang Normal
Default Izinkan Aku Berzina

><Maukah Anda saya tunjukkan fatwa yang �tegas� dari beberapa ulama terkemuka mengenai adakah pacaran dalam Islam? (Yang dimaksud dengan �pacaran� di sini adalah hubungan percintaan yang berkemungkinan berlanjut ke pernikahan.) Untuk memahami �ketegasan� fatwa mereka, saya persilakan Anda menyimak lebih dahulu pembahasan ungkapan: �Izinkanlah aku berzina!�

Izinkanlah saya berzina!�

Demikian, permohonan seorang pemuda kepada Rasulullah saw. selepas turunnya ayat �wa la taqrabuz zina (dan janganlah kau dekati zina)� (QS al-Isra� [17]: 32). Apa dan bagaimana tanggapan atau jawaban beliau kepadanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad dari Abu Umamah r.a.?

Kalau belum tahu, tebaklah! Pilihlah satu di antara empat alternatif:

1. �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu, saudara-saudara perempuanmu, dan bibi-bibimu?�
2. �Tidak! [Zina] itu dosa besar. Mendekatinya saja dilarang, apalagi melakukannya. Tak seorang pun boleh berzina. Titik.�

3. �Kau tidak membutuhkan izin dariku. [Zina] itu urusan dunia dan kau lebih tahu urusan duniamu.�

4. �������. (bukan tiga alternatif di atas; uraikan!)

Sebelum kita periksa tepat-kelirunya tebakan Anda, marilah kita tinjau lebih dahulu keadaan umat pada zaman modern ini. Adakah ungkapan yang mengisyaratkan permohonan izin untuk berzina?

Ya! Beberapa tahun lalu, di awal era reformasi, kita dihebohkan oleh beredarnya buku berjudul Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur. Buku ini membeberkan perilaku umat yang doyan berzina, termasuk figur-figur yang terhormat di mata masyarakat. Bertahun-tahun lalu, di zaman orde baru, pernah beredar film Biarkan Kami Bercinta. Film ini mengisahkan sepasang pelajar SMP yang berpacaran sebebas-bebasnya sampai berhubungan seksual.

Semua itu mengisyaratkan adanya �permohonan� dari sebagian umat untuk berzina. Menghadapi �permohonan� ini, apa dan bagaimana tanggapan para da�i (aktivis dakwah) yang katanya mengikuti sunnah Rasul?

Tanggapan Aktivis Dakwah

Banyak aktivis dakwah, termasuk saya ketika belum memahami metode dakwah Rasul dalam hal ini, cenderung menanggapi �permohonan berzina� itu dengan kalimat-kalimat seperti dalam tiga paragraf kutipan berikut ini:

* Say no to taqrabuzzina. Ini sikap tegas untuk kita para muda Islam. Muda-mudi Islam harus jadi pelopor bagi perang melawan zina, melawan aktivitas dan sarana-sarana pemantik syahwat. � Kita, yang saat ini baru saja berjuang untuk non-aktif dari aktivitas rawan zina berjudul pacaran, harus tegas menanamkan pada diri sendiri: �La taqrabuz zina! Apalagi zina beneran.�
* Jangan nekat berzina! Bagi mereka yang berbuat maksiat, termasuk yang berzina, Allah memberikan gambaran dalam firman-Nya, �Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. [Biar mereka] rasakan azab yang membakar ini.� (QS al-Hajj: 22)
*Zina, lacur, atau hubungan intim [seksual] luar nikah adalah suatu perilaku nista dan terkutuk yang merupakan aib yang teramat besar di hadapan Allah swt. � Perbuatan ini sering terjadi dengan atas nama pacaran.

Kesimpulan apa yang dapat kita tarik dari tiga paragraf kutipan di atas? Salah satunya, ternyata tanggapan kita para da�i terhadap �permohonan berzina� cenderung sangat keras. Tanggapan kita mirip Alternatif B: �Tidak! [Zina] itu dosa besar. Mendekatinya saja dilarang, apalagi melakukannya. Tak seorang pun boleh berzina. Titik.�

Begitukah tanggapan Rasulullah ketika seorang pemuda memohon izin berzina? Mari kita periksa.
Bandingkan dengan Metode Dakwah Rasulullah

Kita hendak mengikuti sunnah Rasul, bukan? Kalau begitu, kita perlu meneladani metode dakwah beliau, termasuk ketika menghadapi kasus �permohonan berzina�.

Dari Abu Umamah r.a., ia mengatakan, telah datang seorang pemuda menghadap Rasul saw. seraya berkata, �Wahai Rasulullah! Izinkanlah saya berzina!� Orang-orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, �Celaka kau, celaka kau!� Akan tetapi, Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya. Kemudian terjadilah dialog.

Rasul bertanya, �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu?� Si pemuda menjawab, �Sekali-kali tidak! Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.� Maka bersabdalah Rasul, �Begitu pula orang-orang lain. Mereka tidak ingin [zina] itu terjadi pada ibu mereka.�

Rasul bertanya lagi, �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuanmu?� Si pemuda menjawab, �Sekali-kali tidak! Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.� Maka bersabdalah Rasul, �Begitu pula orang-orang lain. Mereka tidak ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.�

Rasul bertanya lagi, �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuan bapakmu?� Si pemuda menjawab, �Sekali-kali tidak! Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.� Maka bersabdalah Rasul, �Begitu pula orang-orang lain. Mereka tidak ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuan bapak mereka.�

Rasul bertanya lagi, �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuan ibumu?� Si pemuda menjawab, �Sekali-kali tidak! Demi Allah yang menjadikan saya sebagai tebusan Tuan.� Maka bersabdalah Rasul, �Begitu pula orang-orang lain. Mereka tidak ingin [zina] itu terjadi pada saudara-saudara perempuan ibu mereka.�

Kemudian [telapak tangan] Rasulullah menyentuh dada pemuda itu seraya berdoa, �Ya Allah! Ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!� (HR Ahmad)

Sekarang, bandingkan tanggapan Rasul ini dengan tanggapan kita para aktivis dakwah yang tadi kita simak. Tampak berbeda, bukan? Sementara tanggapan kita sangat keras seperti pada Alternatif B, tanggapan beliau sangat lembut seperti pada Alternatif A: �Apa kau ingin [zina] itu terjadi pada ibumu, saudara-saudara perempuanmu, dan bibi-bibimu?�

Perhatikan! Rasulullah saw. tidak mendesak si pemuda. Beliau justru memberi keleluasaan bagi dia untuk mempertimbangkan kembali permohonannya. Beliau pun tidak menakut-nakuti atau pun mengutuk dia. Beliau malah menggembirakan dia dengan menyentuh dadanya seraya berdoa: �Ya Allah! Ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya!�

Begitulah perbedaan metode dakwah antara Rasulullah dan kita selama ini.

Aduh! Jadi malu nih. Lha wong ngaku-aku aktivis dakwah yang katanya mengikuti sunnah Rasul kok metode kita jauh berbeda dari metode beliau. Ironis, �kan?

Untungnya, kerasnya metode dakwah dalam menghadapi kasus �permohonan berzina� tampaknya hanya digunakan oleh kita para da�i yang ilmu agamanya masih belum mendalam. Pada aktivis lain yang ilmu agamanya telah cukup mendalam, yaitu yang sudah berlevel ulama sejati (�pewaris Nabi�), metode dakwah yang lembut ala Rasul telah diterapkan. Kita bisa menyaksikannya dengan menyimak fatwa beberapa ulama terkemuka mengenai pacaran berikut ini.
Fatwa Ulama Mengenai Pacaran

Terhadap permohonan izin berzina saja, Rasul berdakwah secara lembut. Pantesan, terhadap permohonan �pacaran�, yang �hanya� merupakan aktivitas �rawan zina� (yang tidak identik dengan aktivitas zina), para ulama sejati berusaha bersikap lebih lembut. Akibatnya, mungkin fatwa mereka tampak kurang tegas. Namun, bukankah mengikuti Nabi itu lebih baik daripada asal tegas?

Di antara ulama-ulama sejati yang menyoroti persoalan pacaran, ada tiga orang yang menonjol di mata saya. Mereka ialah Yusuf Qardhawi, Abdul Halim Abu Syuqqah, dan M. Quraish Shihab. Dua nama pertama merupakan ulama Ikhwanul Muslimin dari Timur Tengah. Nama terakhir ialah ulama Indonesia yang tentu sudah kita kenal.

Yusuf Qardhawi ialah ulama yang produktif dalam berfatwa, produktif pula dalam menulis kitab. Yang terkenal di antaranya adalah Fatwa-Fatwa Kontemporer dan Halal-Haram dalam Islam. Sejauh pengamatan saya, Qardhawi tidak menetapkan secara tegas hukum hubungan percintaan �pra-nikah�. Ia sekadar memperlihatkan ketidaksenangannya terhadap fenomena percintaan di luar nikah. (Bahwa Qardhawi tidak memfatwakan haramnya pacaran, silakan Anda mengeceknya sendiri.)

Jika sikap ketidaksenangannya itu kita �terjemahkan� ke dalam �bahasa fiqih�, maka bisa dibilang bahwa menurut Qardhawi, pacaran itu makruh hukumnya. (Makruh berarti mendapat pahala bila meninggalkan, tetapi tidak berdosa bila mengerjakan.)

Sementara itu, fatwa Abdul Halim Abu Syuqqah, salah seorang sahabat dekat Qardhawi, tampaknya juga kurang tegas. Namun, fatwanya lain. Berbeda dengan Qardhawi, Abu Syuqqah memaklumi fenomena percintaan �pra-nikah�. Bahkan, ia menganjurkan �hubungan yang mendalam dan pengalaman yang panjang� yang ditempuh secara makruf �hingga mencapai puncak [yakni pernikahan] atau kembali lagi ke halaman rumah [yaitu persahabatan antarlawan-jenis].� (Kebebasan Wanita, Jilid 5, hlm. 77-78)

Jika sikap menganjurkan itu kita �terjemahkan� ke dalam �bahasa fiqih�, maka dapat kita katakan bahwa menurut Abu Syuqqah, pacaran islami itu sunah hukumnya. (Sunah berarti mendapat pahala bila mengerjakan, tetapi tidak berdosa bila meninggalkan.) (Sebagian aktivis dakwah tidak menyukai istilah �pacaran islami� karena menganggap istilah �pacaran� itu bermasalah. Mereka mengajukan istilah �taaruf� sebagai alternatif. Namun, istilah �taaruf� pun sebetulnya juga bermasalah. Lihat artikel Taaruf, Sebuah Istilah yang Asal Keren?.)

Adapun fatwa Quraish Shihab juga terlihat tidak tegas. Bahkan, ia cenderung �mendua�. Dalam salah satu bukunya yang mengupas dunia perempuan, kelihatannya ia memaklumi kebutuhan kita akan cinta sejati, termasuk ketika hendak memasuki jenjang pernikahan. Akan tetapi, ia pun mengkritik (secara tersirat melalui sindiran halus) bahwa hubungan percintaan pra-nikah kita pada umumnya ternyata jauh dari cinta sejati. (Bahwa Quraish Shihab tidak memfatwakan haramnya pacaran, silakan Anda mengeceknya sendiri.)

Jika sikap mendua itu kita �terjemahkan� ke dalam �bahasa fiqih�, maka dapat kita nyatakan bahwa menurut Quraish Shihab, pacaran itu pada dasarnya mubah, yang bisa segera berubah menjadi makruh atau pun sunah, tergantung pada keadaan kita masing-masing.

Demikianlah. �Fatwa� tiga ulama tersebut ternyata berlainan walaupun sama-sama lembut. Kita tidak usah bingung menghadapi perbedaan itu.

Pacaran �kan masuk dalam wilayah ijtihad. Dan berbedanya hasil ijtihad itu wajar. Selaku orang awam yang belum mampu berijtihad sendiri, kita bisa memilih satu di antara fatwa-fatwa itu sesuai dengan kecenderungan hati nurani kita masing-masing.

Akhirnya, apa pun pilihan kita, hendaknya kita menghargai pilihan orang lain yang berbeda dengan pilihan kita. (Pada naskah Muslim Romantis, sikap saling menghargai ini dapat kita tunjukkan dengan TIDAK mengajukan klaim-klaim provokatif seperti �tidak ada pacaran dalam Islam� atau pun �pacaran itu sunnah yang direstui Nabi�.)***

Sponsored Links
Space available
Post Reply

« Previous Thread | Next Thread »



Switch to Mobile Mode

no new posts