FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]() ![]() Tulisan ini aslinya berupa sebuah thesis yang disusun untuk mencapai gelar Doktor dalam Ilmu Filsafat di University of London. Rujukan yang digunakan adalah kitab-kitab : ATTHASALINI - komentar atas Dhammasangani (bagian dari Abhidhhamma). Ditulis oleh Buddhaghosa. Ditulis berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala, dengan mempertimbangkan beberapa tafsir yang berlaku di lingkungan Mahavihara. MANORATHAPURANI - komentar atas Anguttaranikaya. Diterjemahkan ke bahasa Pali oleh Buddhaghosa, ketika beliau tinggal di Kancipura bersama Jotipala Thera. Dalam bagian pembuka, dikatakan bahwa naskah aslinya berbahasa Sinhala yang dibawa ke Sri Lanka oleh Mahinda dan dipelihara turun temurun oleh para penghuni Mahavihara. Selain itu dalam syair penutup, diakui bahwa versi Pali ini ditulis dengan mengambil intisari <saram adaya> dari Maha-atthakatha yang berbahasa Sinhala. MAHAVAMSA - buku sejarah Sri Lanka. Ditulis sejak kedatangan Vijaya dan para pengikutnya pada abad ke 5 sebelum Masehi. Hal ini berarti, menurut Mahavamsa, 'pada hari yang sama saat Tathagata berbaring di antara dua pohon sala kembar untuk mencapai nibbana'. SAMYUTTANIKAYA ATTHAKATHA - komentar atas Samyutta Nikaya. Dikenal juga dengan sebutan Saratthappakasini. SAMANTAPASADIKA - komentar atas Vinaya Pitaka. Ditulis oleh Buddhaghosa atas permintaan Buddhasiri Thera, berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala yang ditulis oleh Buddhamitta. SAMMOHAVIMODANI - komentar atas Vibhanga (bagian dari Abhiddhama). Ditulis oleh Buddhaghosa berdasarkan komentar asli dalam bahasa Sinhala, dengan mempertimbangkan beberapa tafsir yang berlaku di lingkungan Mahavihara. Selain itu banyak memuat catatan mengenai keadaan Agama Buddha di Sri Lanka pada masa-masa awal. Semoga bisa meredam beragam spekulasi, dan kita jadi mengetahui sejarah sebagaimana apa adanya. -------------------------------------------- VATTAGAMANI (43 tahun sebelum Masehi) Ketika itu Sri Lanka diperintah oleh Raja Vattagamani. Baru saja memerintah lima bulan, Brahmana Tissa yang tinggal di Rohana memberontak. Bersamaan dengan itu, datang tujuh orang Tamil dari India dengan balatentara mereka. Tissa sangat kuat, sehingga Vattagamani tidak berani menghadapinya di medan perang. Menurut Sammohavinodani : Brahmana Tissa menyerbu. Para bhikkhu bersidang dan mengirim delapan thera kepada Dewa Sakka untuk meminta bantuan mengatasi pemberontakan itu. Sakka, raja para dewa, menjawab : 'Para Ariya, pemberontakan tidak mungkin ini bisa diatasi. Sebaiknya para bhante pergi ke negeri lain. Saya akan melindungi selama perjalanan di laut'. Selain kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu, bencana alam pun menimpa negeri. Selama dua belas tahun, timbul bencana kelaparan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah (Samyuttanikaya Atthakatha II-iii). Vihara di Anuradhapura ditinggalkan dan para bhikkhu mengungsi ke India ataupun bersembunyi ke pegunungan. PENDERITAAN SELAMA BENCANA Menurut Sammohavinodani, para bhikkhu dari segenap penjuru akhirnya berkumpul di <bJambukola-pattana di Pulau Nagadipa (pulau kecil di Barat-Laut Sri Lanka), untuk berusaha menyeberang ke India. Tiga orang Thera Samyuttabhanaka (yang mahir dalam Samyuttanikaya) masing-masing bernama Culasiva, Isidatta dan Mahasena memimpin pertemuan itu. Dengan menyadari kemampuan Mahasena untuk melindungi Buddhasasana di masa yang akan datang, kedua thera yang lain menyarankan agar beliau pergi ke negeri seberang dan baru kembali setelah bencana usai. Karena Culasiva dan Isidatta tidak mau ikut menyeberang, Mahasena menolak saran itu dan memutuskan untuk tetap tinggal di Sri Lanka juga. Akhirnya Culasiva meminta kepada Isidatta agar melindungi Mahasena sebaik mungkin. Culasiva Thera pulang kembali ke Mahacetiya. Ternyata Mahavihara sudah kosong, pohon-pohon liar sudah menutupi halaman, bahkan Mahacetiya sendiri tertutup semak belukar. Karena itu Culasiva pergi ke sebuah tempat di tepian Sungai Jaggara. Orang-orang di sana bertahan hidup dengan memakan daun-daunan. Beliau pun tinggal di sana sampai keadaan menjadi lebih baik. (Sammohavinodani 446, 447). Isidatta dan Mahasena juga sangat menderita. Setelah mengembara terlunta-lunta, mereka tiba di Alajanapada. Penduduk di sini membelah biji buah 'madhu' dan memakan isinya. Kedua thera itu mengambil bagian luarnya yang tersisa, dan memakannya. Selama satu minggu hanya itulah makanan yang tersedia. Dalam kesempatan selanjutnya mereka bertahan hidup dengan memakan batang bunga bakung dan juga bonggol pohon pisang. (Sammohavinodani 447, 448). Kisah bhikkhu yang lain, bernama Vattabaka Nigrodha lebih mengenaskan. Bersama gurunya yang sudah uzur, beliau berkelana dari tempat ke tempat dengan secuil makanan. Bencana kelaparan pada saat itu sudah sangat gawat sehingga orang bahkan ada yang memakan daging manusia. Thera yang sudah sangat lanjut usia itupun menjadi salah satu korban mereka. Untunglah Nigrodha berhasil lolos. (Sammohavinodani 449, 450). Tidak terhitung banyaknya orang yang mati, baik para bhikkhu maupun umat awam. Di Vihara Tissamaharama dan Cittalapabatavihara sebenarnya dahulu tersimpan beras yang cukup untuk tiga tahun, namun semuanya habis diserbu tikus. Dua belas ribu Arahat dari masing-masing vihara pun berangkat dengan maksud mengungsi ke vihara yang lain. Di tengah jalan mereka bertemu dan setelah mendengar kisah masing-masing, mereka akhirnya masuk ke hutan dan memilih untuk meninggal di sana, karena mengetahui sudah tidak ada gunanya lagi untuk kembali ke vihara. (Sammohavinodani). Seorang theri bernama Naga, ditinggalkan bersama para bhikkhuni lainnya di vihara mereka di Desa Bharatagama. Para penduduknya habis lari mencari tempat yang lebih baik. Mereka mungkin tidak sempat memberitahukan kepergiannya kepada para bhikkhuni tersebut, atau tidak sampai hati menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk menanggung kehidupan para bhikkhuni tersebut pada masa bencana menimpa. (Manorathapurani). Para thera lain yang disebut-sebut hidup pada masa itu adalah Tissabhuti, Sumanadeva, Phussadeva dan Upatissa. Tissabhuti tinggal di Vihara Mandalarama di Desa Kalakagama. Di dalam Manorathapurani diriwayatkan bahwa bhikkhu ini pernah melihat seorang wanita dan kemudian pikiran kotor merasuki batinnya. Ia pun bergegas pulang ke <ivihara, menghadap gurunya Malayavasi Mahasangharakkhita Thera dan mendapat petunjuk untuk meditasi. Ia pun bertekad untuk menghapus pikiran kotornya, bahkan bila gagal ia nekad akan mengakhiri hidupnya. Ia pun pamit kepada gurunya sambil berulang-ulang memberi hormat. Gurunya bertanya heran, dan Tissabhuti menjawab : 'Syukurlah kalau saya berhasil. Namun kalau gagal, inilah penghormatan saya yang terakhir kepada guru.' Tissabhuti pergi menyendiri dan menjalankan meditasi sesuai petunjuk gurunya. Akhirnya iia berhasil dan menjadi Arahat. Cerita lain tentang Tissabhuti terdapat dalam Atthasalini. Pada suatu hari ia menjelaskan bahwa tempat Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi di Buddha Gaya adalah 'nidana' (tempat asal) diajarkannya Abhidhamma Pitaka. Thera Sumanadeva dari Gama ketika itu sedang mengajarkan dhamma di bagian bawah Istana Kuningan. Thera Sumanadeva mendengar hal ini dan menyebut Tissabhuti sebagai seorang 'paravadi' (yang keliru), yang tidak mengetahui 'nidana' dari Abhidhamma. Beliaupun kemudian menjelaskan keterangan yang benar tentang riwayat Buddha mengajarkan Abhidhamma di kaki sebatang Pohon Paricchattaka di Tavatimsa, surga para dewa. (Atthasalini 30, 31). ![]() Kedua thera yang lain, Phussadeva dan Upatissa berguru kepada orang yang sama. Selama masa bencana kelaparan keduanya teguh berupaya melindungi Vinaya Pitaka. (Samantapasadika I-263). bersambung ke SEJARAH PENULISAN TIPITAKA (PALI) - bagian 2 dari 2, tamat |
![]() |
|
|