FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]() Tanpa 'aku' (Anatta) Karya: Taman Budicipta "Konsep" Buddhis seharusnya tak dijadikan keterikatan, melainkan kita harus melatih diri kita sesuai dengan "jalan" untuk merealisasikan "konsep" tersebut. Ini kadang membingungkan dan seseorang memerlukan kebijaksanaan yang mendalam untuk membedakan (mengerti) kedua hal ini. Di beberapa sutta Sang Buddha tak menjawab pertanyaan tentang 'aku' (ada atau tidak). Sepengertianku, Sang Buddha menjawab pertanyaan seseorang berdasarkan kebijaksanaan si penanya. Pernah Sang Buddha hanya berdiam diri sewaktu ditanya pertanyaan ini, dan Bhante Ananda kemudian bertanya kepada Sang Buddha kenapa Beliau berdiam diri. Sang Buddha menjelaskan kepada Bhante Ananda: "Ananda, bila saya mengatakan 'aku' ini tak ada, maka ia akan bingung dan berpikir, 'terus apakah saya ini hanya khayalan belaka?' Tetapi, Ananda, bila saya mengatakan 'aku' ini ada, maka ia akan berpikir bahwa ada 'jiwa yang kekal.' Maka dari itu, saya hanya berdiam diri." Tetapi tentunya Sang Buddha juga sering menjelaskan makna dari tanpa 'aku' (anatta). Kalau kita perhatikan, ketika Beliau menjelaskan konsep tanpa 'aku' maka Beliau sering menggunakan metode analisa sehingga si pendengar benar-benar mengerti dan tak terperosot ke dua ujung ekstrim "aku ini kekal" atau "aku ini khayalan." Salah satu dari penjelasan Sang Buddha tentang konsep tanpa 'aku' dapat dibaca di Anatta Lakkhana Sutta. Jadi apakah pikiran itu ada? Kalau kita mengatakan pikiran itu tak ada berdasarkan deduction bahwa 'aku' ini tak ada, maka kita memiliki pandangan yang kurang tepat (nihilisme). Tubuh ini ada! dan perasaan juga ada. Pikiran juga ada. Yang tak ada itu adalah 'aku' atau 'ego' atau 'roh.' Kok bisa begitu? Kita harus benar-benar dulu mengerti arti dari kata 'ada.' Ada disini ditujukan pada adanya 'proses' tersebut sehingga kita bisa mengetahui keberadaannya. Tubuh ini ada karena ia terbentuk (di janin) dan kemudian menjalani proses perubahan sampai akhirnya ia terurai (mati). Jadi tubuh itu ada, tetapi keberadaannya tergantung pada banyak hal (makanan & perawatan)--jadi tak stabil. Dan kelak ia akan tiada. Begitu juga dengan perasaan. Keberadaannya tergantung pada kontak (indera). Adanya kontak, maka perasaan muncul. Tanpa kontak, perasaan tak ada. Perasaan juga adalah proses karena ia harus muncul (kalau ada pendukungnya) dan juga harus lenyap. Begitu juga dengan pikiran. Ia ada sejauh pendukung keberadaannya ada. Bila pendukung keberadaannya tiada, maka ia dengan sendirinya tiada--tak stabil. (Rumus yang sama digunakan juga untuk kesadaran dan persepsi.) Jadi kalau keberadaan tubuh, kesadaran, persepsi, perasaan, pikiran itu tak stabil (tergantung pada pendukungnya masing-masing) dan 'aku' adalah bukan lain gabungan dari mereka (yang kesemuanya tak stabil), maka dengan sendirinya tak akan ada 'ego' yang tetap dan stabil. Mengerti penuh hal ini, maka ia yang bijaksana melepaskan keterikatan pada tubuh, kesadaran, persepsi, perasaan, dan pikiran (tahap ini bukanlah tahap untuk umat biasa karena ini adalah tahap kesucian Arahat). Begitulah tanpa kepuasan (dukkha), tanpa keabadian (anicca), dan tanpa 'aku' (anatta) seharusnya dimengerti dengan benar. Terkait:
|
![]() |
|
|