FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]() Ikut Berduka-cita? Dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian berbunyi seperti: �Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...� Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan. Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung. Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha. Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat ajaran murni Sang Buddha? Dalam Mah�parinibb�na Sutta, kejadian semacam itu dapatlah dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri kehidupan-Nya, �nanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera memanggilnya dan menasihati: �Cukup, �nanda, janganlah Engkau bersedih hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.� Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga. Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa vedan�) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini, yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain, berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari rasa bakti, tulus, setia. Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan pernyataan seperti: �Ikut Berduka-cita . . .� karena ini tidak sesuai dengan hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan. Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk berpura-pura menangis atas nama dirinya �sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan atas. Dengan mengembangkan perasaan duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing. Seseorang mungkin akan bertanya, �Kalau berita berbunyi �Ikut Berduka-cita�� tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan yang bagaimanakah yang cocok?� Ungkapan-ungkapan yang mengandung makna Dhamma seperti �Segala perpaduan bersifat tidak kekal� atau �Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti menimpa semua makhluk hidup� jauh lebih baik dan cocok bagi umat Buddha. Dalam pada itu, bagi mereka yang mengetahui bahwa ada sahabat atau kerabat karib yang sedang bersedih hati ditinggal mati sanak keluarganya, mereka tidaklah harus turut berduka-cita atau bersedih hati. Itu bukanlah suatu cara yang benar untuk menyatakan rasa kesetiakawanan dan keprihatinan kepadanya. Seseorang yang sedang dirundung malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang sedang terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya, seseorang tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan yang bijaksana ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu keluar dari jurang tersebut. Dengan perkataan lain, pertolongan yang perlu diberikan kepadanya ialah dengan memberikan bimbingan Dhamma agar dia sadar bahwa di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang bersifat kekal (langgeng). Ini bukanlah suatu kebenaran yang baru, dan mungkin telah diketahui olehnya. Akan tetapi, apabila sedang dihadapkan pada keadaan sesungguhnya, kebanyakan orang sering tidak sampai berpikir demikian. Karena itu, merupakan tugas seorang sahabat sejati untuk mengingatkannya. Inilah sikap yang benar terhadap orangorang yang sedang berduka-cita karena kehilangan sanak keluarga yang sangat dikasihinya. Ada yang mengatakan bahwa seseorang menyatakan ikut berduka-cita bukanlah berarti bahwa ia sungguh-sungguh merasa berduka atau bersedih hati. Itu hanyalah sekadar �basa-basi� dengan maksud untuk menyatakan keprihatinan sekaligus menghibur orang yang berpisah dengan almarhum/ah. Ada orang-orang tertentu yang merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan batin dengan menyadari bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang berduka-cita tetapi banyak orang lain yang juga ikut berduka-cita. Sikap hidup semacam ini sesungguhnya sangat tidak bersesuaian dengan Dhamma. Karena itu, tidak semestinya dituruti. Ada banyak cara lain yang lebih arif untuk membebaskan seseorang dari penderitaan, tanpa harus membuat orang-orang lainnya ikut menderita. Selain itu, sebagai umat beragama seseorang tidak seharusnya menyatakan sesuatu hanya sekadar untuk berbasa-basi. Hal yang lazim dilakukan oleh orang-orang umum tidaklah selamanya dapat dianggap baik. Perlu bersikap arif dalam memilih kebiasaan mana yang baik dan mana yang takbaik. Kalau memang tidak berduka-cita, mengapa seseorang harus berdusta menyatakan demikian kepada yang lain? Ketulusan dan kejujuran adalah faktor utama persahabatan. Dalam berbuat atau berucap apa pun, seseorang tidak selayaknya mengesampingkan dua macam kebajikan ini. |
![]() |
|
|