FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Download Lagi cari link download atau torrent? disini pastinya |
![]() |
|
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Hi,
![]() _________ _______________ The Shining (1980) ![]() Jack Torrance: " Wendy? Darling? Light, of my life. I'm not gonna hurt ya. You didn't let me finish my sentence. I said, I'm not gonna hurt ya. I'm just going to bash your brains in " Story: Jack Torrance (Jack Nicholson) baru saja mendapatkan pekerjaan baru sebagai penjaga / cartaker Overlook Hotel, sebuah hotel mewah yang terletak di resort pegunungan Rocky Mountain , Colorado selama musim dingin berlangsung. Jack yang begitu bersemangat dengan pekerjaan barunya ini sampai-sampai tidak lagi terlalu ambil pusing dengan peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di hotel itu 5 tahun lalu atau nantinya ia beserta istrinya, Wendy (Shelley Duvall) dan putranya, Danny (Danny Lloyd) akan tinggal sendiri 5 bulan lamanya di hotel tua yang konon dibagun diatas pekurburan Indian tersebut. Setelah satu bulan tinggal di Overlook Hotel yang terisolasi oleh salju tebal, kejadian-kejadian aneh pun mulai bermunculan. Danny yang ternyata memiliki kemampuan paranormal yang disebut "The Shining" mulai melihat penampakan-penampakan mengerikan yang membuatnya ketakutan setengah mati. Jack pun tidak ketinggalan, diganggu oleh kekuatan supranatural jahat yang perlahan-lahan mulai merasuki jiwa dan menghilangkan akal sehatnya. Kejadian buruk yang terjadi 5 tahun sebelumnya tampaknya akan terulang sekali lagi di Overlook Hotel yang angker itu. Review: Stanley Kubrick dan Stephen King, dua nama tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan utama mengapa The Shining menjadi sugguhan psychological horror klasik yang wajib tonton. The Shining sendiri merupakan adapatasi dari novel berjudul sama karya sang master misteri, Stephen King yang berhasil diterjemahkan dengan sempurna oleh Kubrick dalam media film sepanjang 146 menit. Seperti sudah menjadi rahasia umum Kubrick tidak pernah setengah-setengah dalam menggarap film-filmnya, itulah yang membuat sutradara legendaris satu ini disegani, bahkan oleh sesama sineas dunia lainnya, dan metode tersebut juga diterapkan dalam filmnya satu ini. Syuting yang melelahkan dengan naskah yang sering berganti secara mendadak setiap harinya tidak jarang membuat para pemain-pemainnya stress pun terbayar lunas setelah kita melihat hasilnya. Sebuah suguhan horror atmosphric yang kental dengan aroma kengerian dan ketegangan luar biasa benar-benar mampu menjadi sajian utama The Shining. Musik score klasik mengerikan dari Wendy Carlos & Rachel Elkind yang sejak awal film sudah setia menemani, berpadu dengan angkernya setting Overlook Hotel dengan koridor-koridor panjangnya yang suram semakin membuat bulu kuduk penontonnya berdiri. Belum lagi penggunaan Steady Cam yang mampu membuat kamera bergerak dinamis mengikuti setiap pergerakan karakaternya menjadikan The Shining salah satu yang terbaik di genrenya. Tidak seperti karya Kubrick yang sudah-sudah dimana penuturan cerita dibuat sangat lambat, dalam The Shining Kubrick menaikan tempo menjadi sedikit lebih cepat namun tetap tidak kehilangan ciri khasnya, tujuannya jelas agar dapat dinikmati semua kalangan. Dan sebuah twist manis pun sukses menutup The Shining dengan meninggalkan sejuta pertanyaan kepada penontonnya tentang apa yang terjadi sebenarnya pada karakter Jack Torrance. Kehadiran Jack Nicholson sebagai Jack Torrance jelas membuat film ini menjadi semakin kuat dan selalu akan diingat penontonnya. Nicholson tampil garang dan mengerikan sepanjang film, walaupun harus diakui tidak jarang timbul kesan lucu disaat melihat ekspresi 'gila' aktor yang saat ini berusia 73 tahun. Shelley Duvall sebagai yang disebut-sebut sebagai aktris yang tersiksa sepanjang proses syuting juga berhasil tampil maksimal. Dibawah tekanan yang luar biasa dari seorang Kubrick yang menuntutnya berakting sesempurna mungkin ternyata mampu membuat Duvall tampil meyakinkan, apalagi didukung dengan wajahnya yang unik. Overall, Tidak heran jika banyak penonton yang memasukan The Shining dalam list film horror klasik favorit mereka, karena horror psikologis kolaborasi Kubrick-King ini memang yang terbaik di genrenya, bahkan sampai sekarang The Shining adalah salah satu 'obat' manjur yang dapat membuat penontonnya bermimpi buruk setelah menontonnya. 8/10 |
#2
|
||||
|
||||
![]() Amores perros (2000) ![]() " love is betrayal. love is anguish. love is sin. love is selfish. love is hope. love is pain. love is death. what is love? love's a bitch." Story : Terdapat tiga buah kisah yang berbeda dalam Amores perros yang terjadi di Meksiko city, Meksiko, kisah pertama dibuka oleh cerita " Octavio dan Susanna " ; Octavio (Gael Garc�a Bernal) adalah seorang pemuda sederhana yang tinggal bersama dengan ibunya, dan kakaknya Ramiro yang memiliki istri cantik, Susanna. Octavia ternyata diam2 sudah lama memendam perasaan pada Susanna dan untuk merebut Susanna dari kakaknya yang merupakan seorang kriminal kelas teri, Octavio menggunakan anjingnya yang kuat untuk bertaruh dalam pertarungan anjing ilegal. Dari pertandingan tsb Octavio berhasil mengumpulkan banyak uang yang ia simpan guna untuk lari bersama dengan Susanna, namun rencana tinggalah rencana, sebuah peristiwa diluar rencana harus membuyarkan impian Ocatvio. Kisah kedua adalah " Daniel and Valeria", Daniel adalah seorang publisher sukses di sebuah majalah mode dimana ia jatuh hati pada seorang super model Spanyol, Valeria yang sedang menanjak karirnya, Daniel pun rela meninggalkan anak istrinya untuk hidup bersama Valeria. Sayangnya sebuah kecelakaan lalu lintas menimpa diri Valeria yang membuat kehidupan mereka, khususnya Valeria berubah selamanya. Kisah ketiga, "El Chivo and Maru", El Chievo, mantan seorang guerrilla yang meninggalkan anak istrinya untuk sebuah perjuangan yang ia sesali. Kini ia menjadi seorang gelandangan paruh baya yang memiliki pekerjaan rahasia sebagai seorang pembunuh bayaran, El Chievo hidup seorang diri dan hanya ditemani oleh anjing2nya. Review :Ketiga cerita diatas yang tampakanya berjalan pararel itu ternyata terhubung pada sebuah peristiwa tragis, dimana sang sutradara, Alejandro Gonz�lez I��rritu dengan luar biasa membuat cerita2 terebut saling bersinggungan satu sama lain, sebuah ciri khas dari sutaradara berkebangsaan meksiko ini yang juga ia gunakan pada film2nya yang lain seperti 21 grams dan Babel. Love's a bitch sesuai dengan tag line diatas mungkin adalah kata2 yang tepat untuk menggambarkan film yang menjadi nominasi film asing terbaik Oscar 2001 ini, sebuah kisah cinta yang bisa dibilang cukup tragis yang terjadi pada setiap karakternya. Disajikan selama dua jam lebih dan dengan plot yang sudah diacak2 tidak membuat film ini terasa membosankan walaupun mungkin bagi para penonton yang belum pernah menyaksikan karya I��rritu lainnya akan sedikit bingung mencerna film ini. Setiap segemen disajikan dengan apik, padat dan kaya dengan melodrama, kebetulan, sensasi, bahkan kekerasan. Lupakan Telenovela ala Meksiko, film ini sama sekali jauh dari kisah cinta yang mendayu dayu dan memilih jalan yang realistis dalam menggambarkan sebuah kisah cinta yang tak berbalas. Overall, mencari sebuah film dengan kisah cinta yang tidak biasa baik dalam cerita maupun penyajiannya? Amores perros mungkin pilihan yang tepat, sebuah karya terbaik dari seorang Alejandro Gonz�lez I��rritu yang wajib ditonton. 8,5/10 |
#3
|
||||
|
||||
![]() I Love You Phillip Morris (2009) ![]() " Based On A True Story... No, Really It Is " Story: Dari ranjang ruang ICU, Steven Russell yang terbaring sekarat menceritakan kembali kisah hidupnya. Awalnya tidak ada yang berbeda pada diri seorang Steven Russell, layaknya keluarga Amerika pada umumnya, Ia hidup bahagia bersama istrinya, Debbie (Leslie Mann) dan dua orang anaknya. Namun semuanya berubaha dalam sekejep. Berawal dari sebuah kecelakaan lalu lintas yang kemudian membuat Steven memutuskan untuk memberanikan diri menunjukan siapa dirinya. Ya, Steven Russell adalah seorang homoseksual yang selama ini hidup dalam kedok pria normal. Kini setelah meninggalkan keluarga dan kehidupan masa lalunya, Steven dengan mantap melangkah menuju ke kehidupan barunya sebagai seorang gay sejati. Being gay is really expensive, ya, Steven mulai menyadari bahwa menjadi seorang gay itu tidaklah murah. Hidup dalam segala kemewahan dan keglamoran membutuhkan banyak uang, dan itulah kendala terbesar yang harus dihadapi Steven. Dengan berbekal kecerdikannya Steven berhasil menjadi seorang penipu / conman ulung, namun seperti kata pepatah, ' secerdik-cerdiknya tupai melompat pasti akan jatuh juga ', sepak terjang Steven akhirnya berhasil diendus dan dihentikan oleh pihak bewajib, akibatnya Ia harus merelakan dirinya masuk dalam penjara. Jika masuk penjara bagi kebayakan orang adalah musibah, rupanya hal tersebut tidak berlaku bagi diri Steven, ya, di penjara inilah Ia menemukan cinta sejatinya, belahan jiwanya dalam diri seorang Phillip Morris (Ewan McGregor). Dari sinilah kisah cinta pasangan sesama jenis yang penuh dengan suka duka ini bermula....... Review: I Love You Phillip Morris mungkin adalah salah satu film dengan tema homoseksual yang sangat enjoyable dan menghibur untuk ditonton. Jika kebanyakan film-film yang mengangkat tema 'tabu' seperti ini tampil begitu serius dengan konflik-konflik yang cukup berat, namun tidak bagi film besutan duet sutradara Glenn Ficarra dan John Requa ini. Ya, I Love You Phillip Morris berhasil mengabungkan kisah nyata dari seorang penipu ulung bernama Steven Russell dengan unsur-unsur tipu-menipu ala Catch Me if You Can, romantisme cinta sejenis ala Brokeback Mountain dan gaya lelucon komikal ala Jim Carrey dengan manis yang membuat film bertema sensifitif ini menjadi sebuah sajian yang unik dan sangat menghibur, terlebih lagi banyak sekali adegan-adegan mengejutkan, menipu sekaligus kocak yang membuat tawa penontonya lepas disaat menyaksikan film berdurasi 98 menit ini. Tidak hanya sekedar menghibur dengan lelucon-lelucon segarnya, I Love You Phillip Morris juga mampu menampilkan sisi serius disaat bersamaan, terutama disaat penonton dihadapkan konflik yang terjadi pada hubungan karakter Steven dan Phillip Morris. Menjadi semakin menarik karena baik Jim Carrey maupun Ewan Mcgregor mampu bermain dengan sangat baik membawakan peran pasangan gay yang jujur saja mungkin terbilang sulit dilakukan, terutama bagi orang 'normal' seperti mereka, apalagi banyak adegan yang menuntut mereka untuk melakukan kontak fisik frontal layaknya pasangan sebenarnya, namun hebatnya ternyata mereka berdua mampu membawakannya dengan baik dan terlihat begitu menikmatinya. Penghargaan terbesar mungkin pantas diberikan pada Ewan Mcgregor karena aktor asal Inggris ini benar-benar sangat hebat membawakan karakater kemayu seorang Phillip Morris, lihat saja caranya berbicara, caranya menatap, caranya berjalan, semuanya mencerminkan seorang gay sejati, luar biasa!!. Overall, Walaupun mengangkat tema homoseksual yang terbilang tabu namun di luar dugaan I Love You Phillip Morris ternyata bisa tampil cukup solid di berbagai sisi. Film ini jelas akan membuat penontonnya tertawa dengan lelucon-lelucon konyol ala Jim Carrey-nya, namun disisi lain film ini juga mampu tampil serius layaknya film-film drama romantisme kebanyakan, yang pasti I Love You Phillip Morris adalah sebuah film yang sangat enjoyable untuk ditonton, tidak peduli anda pro ataupun kontra terhadap keberadaan kaum gay sekalipun. 7,7/10 |
#4
|
||||
|
||||
![]() The Greatest (2009) ![]() Rose: " I was in love with him. That's why I'm keeping this baby. I was in love with him for four years. I barely knew him, but everything was exactly how I imagined it, everything was just how I pictured it. I had to keep this baby. I think he was the love of my life " Story: Hati orangtua mana yang tidak hancur ketika anak kebangaan mereka secara tragis meninggalkan mereka. Hal itulah yang harus dialami oleh pasangan suami istri, Allen (Pierce Brosnan) dan Grace Brewer (Susan Sarandon) disaat mereka kehilangan putranya, Bennett (Aaron Johnson) dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Sebagai ibu yang melahirkan Bennet, Grace mungkin bisa dibilang adalah orang yang paling terpukul, hampir setiap kali bangun tidur ia selalu menangis walaupun Allen sering kali menghiburnya. Suatu hari setelah 3 bulan kematian Bennet, datanglah Rose (Carey Mulligan) dalam kehidupan keluarga Brewer. Gadis muda ini mengaku telah mengandung anak Bennet. Berita tersebut jelas menjadi kejutan bagi Allen dan Grace. Allen yang nampaknya kasihan terhadap Rose memberinya tempat tinggal di rumah mereka, di pihak lain Grace rupanya kurang menyukai kehadiran Rose yang dianggap akan semakin menambah masalah mereka. Yang mungkin mereka tidak tahu adalah kehadiran Rose akan menjadi obat dalam menyembuhkan duka mereka. Review: Kedukaan dan kesedihan bisa dibilang menjadi 'warna' dominan film debutan dari sutradara sekaligus penulis, Shana Feste. Bagaimana tidak hampir 3/4 film penonton akan dibawa kedalam sebuah kisah sedih, emosional dan depressing sebuah keluarga yang harus berjuang menghadapi kenyataan pahit atas meninggalnya putra dan kakak kebangaan mereka. Tidak terlalu istimewa memang, karena tema-tema sedih seperti ini sudah banyak diangkat oleh sineas-sienas Hollywood lain, namun setidaknya The Greatest memberikan sebuah tontonan yang cukup menarik, terlebih pada penggambaran setiap karakternya dengan konfik batin mereka masing-masing. Ya, kombinasi senior-junior yang ditampilkan dalam film yang mendapatkan standing ovations dalam pemutarannya di festival film Sundance tahun kemarin ini tampil solid membawakan peran mereka masing-masing, bahkan seorang Pierce Brosnan pun bisa tampil menyakinkan sebagai seorang ayah yang bijaksanan nampun rapuh, mengimbangi akting hebat Susan Sarandon dan Carey Mulligan. Overall, The Greatest memang bukanlah drama istimewa, terutama kisahnya yang memang biasa-biasa saja dan sudah sering diangkat di film-film lain, namun setidaknya film satu ini dapat mewakili sebuah kesedihan dan kedukaan mendalam sebuah keluarga lewat akting kuat dari para pemainnya, sehingga mungkin tanpa sadar momen-momen menyentuh didalamnya akan mengugah emosi penontonnya. 7,4/10 |
#5
|
||||
|
||||
![]() The Grudge: Old Lady in White / Ju-on: Shiroi r�jo (2009) ![]() " when one person dies with a deep and burning grudge, a curse is born " Review & Story: Jika melihat kesukesan yang diperoleh franchise Ju-On sekarang, Takashi Shimizu mungkin tidak pernah mengira bahwa film kecil yang di tulis dan di sutradarainya itu ternyata mampu menjadi sebuah fenomena horror luar biasa. Ya, Ju-On tidak hanya sukses menarik perhatian penggemar horror negeri matahari terbit itu saja, namun layaknya kutukan yang menyebar cepat dalam filmnya, Ju-On yang dua seri awalnya dibuat dalam format direct to video ini juga dengan cepat menjadi mimpi buruk baru bagi penonton dunia dengan kisah kutukan rumah hantu ala Jepang-nya yang sangat menakutkan, sampai-sampai pada 2004 lalu Hollywood di bawah bendera Columbia Pictures pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan kepopuleran Ju-On dengan membuat versi remake-nya yang dibintangi oleh Sarah Michelle Gellar dimana perolehan box office-nya terbilang sangat fantastis meraup 187 juta Dollar padahal biaya produksi yang dikeluarkan terbilang sangat kecil, 'hanya' 10 juta Dollar, tidak heran sampai dibuat sekuelnya. Kini dalam rangka menghormati 10 tahun kesukesan yang diperoleh dua seri Ju-On buatan Takashi Shimizu, dua orang sineas Jepang, Ryuta Miyake dan Mari Asato yang juga bertindak sebagai penulis dan produser kembali menghadirkan installement anyar dalam paket dua film sekaligus, Ju-on: Shiroi Roujo (The Grudge: Old Lady In White) dan Ju-on: Kuroi Shoujo (The Grudge: Girl In Black). Untuk kali ini saya akan membahas Ju-on: Shiroi Roujo (The Grudge: Old Lady In White) telebih dahulu. Walaupun memasang 'embel-embel' Ju-On pada judulnya, namun secara keseluruhan kisah yang diangkat dalam seri terbarunya ini sama sekali tidak berhubungan dengan kejadian dua seri pendahulunya, namun tetap saja benang merah yang berupa kutukan dendam Kayako ternyata sudah meyebar begitu luas dan ber-efek negatif terhadap kehidupan beberapa orang termasuk salah satu keluarga yang baru saja menghuni rumah barunya. Semenjak pindah ke rumah baru tersebut, putra tertua dari keluarga Isobe ini mulai bertingkah laku aneh dan misterius, puncaknya disaat malam natal, pemuda yang juga seorang mahasiswa ini membantai seluruh anggota keluarganya dengan sadis sebelum akhirnya ia menggantung dirinya sendiri. Jika dibandingkan dua predesornya, kisah yang ditampilkan dalam Ju-on: Shiroi Roujo bisa dibilang mengalami penurunan cukup drastis, walaupun tidak buruk namun tetap saja terkesan seperti mengulang kisah yang sudah ada, apalagi dengan absennya dua karakater hantu ikonik Kayako dan anaknya Thosio yang dimana dalam dua seri sebelumnya mampu menjelma menjadi mimpi buruk terbesar bagi para penontonnya. Untung saja plot yang sederhana dan predictable tersebut berhasil 'dibungkus' dalam sebuah plot non-linear maju mundur dan dibagi dalam beberapa chapter yang diacak sehingga penontonnya mau tidak mau diajak berpikir untuk menyusun ulang adegan-adegan yang sudah di 'acak' untuk mendapatkan cerita yang lebih jelas. Sisi positif lainnya adalah atmosfer eerie yang menjadi ciri khas seri Ju-On rupanya masih berhasil dijaga dengan baik oleh Ryuta Miyake dan Mari Asato. Setting rumah angker dengan lorong-lorong sempitnya masih menjadi 'senjata' ampuh untuk menakut-nakuti penontonnya, belum lagi penampakan-penampakan para 'penghuni'-nya pada muncul pada saat yang tepat plus musik score minimalis yang mendukung semakin menambah kengerian yang mencekam, walaupun harus diakui kehadiran para dedemit tersebut cukup mudah ditebak, namun toh hasilnya tidak bisa dipungkiri tetap saja masih sangat efektif membuat jantung penontonnya copot, apalagi shocking moment yang terdapat di penghujung film lumayan memberikan efek disturbing. So, masih belum bosan dengan franchise Ju-On? walaupun tidak sehebat pedahulunya, tetap saja kehadiran The Grudge: Old Lady in White / Ju-on: Shiroi r�jo ini masih terbilang efektif sebagai 'alat senam' jantung anda, walaupun patut disayangkan ketidakhadiran si 'cantik' Kayako cukup berdampak besar pada film ini. 7/10 |
#6
|
||||
|
||||
![]() The Grudge: Girl In Black / Ju-on: Kuroi Shoujo (2009) ![]() " when one person dies with a deep and burning grudge, a curse is born " Review & Story: Seperti halnya The Grudge: Old Lady in White / Ju-on: Shiroi r�jo yang dirilis dalam rangka memperingati 10 tahun Ju-On buatan Takashi Shimizu, The Grudge: Girl In Black / Ju-on: Kuroi Shoujo juga hadir dalam satu paket back to back untuk melengkapi sekaligus menjadi penutup kisah kutukan maut hantu Kayako. Namun tidak seperti Old Lady in White yang hasilnya ternyata tidak terlalu buruk, film yang juga di besut oleh Ryuta Miyake dan Mari Asato ini ternyata tidak mampu mengikuti kualitas 'saudara' nya itu. Dikisahkan seorang gadis bernama Fukie didiagnosa mengidap kista di perutnya dan harus dirawat disebuah rumah sakit. Apa yang diduga kista tersebut ternyata adalah bagian dari tubuh saudara kembarnya yang gagal dilahirkan. Keadaan bertambah parah disaat sebuah kekuatan jahat penuh dendam menggunakan apa yang disebut 'kista' tersebut untuk menyebarkan kutukan jahat terhadap orang-orang di sekitar, akibatnya korban-korban mulai berjatuhan. Ibu Fukie, Kiwako kemudian meminta bantuan adik perempuannya, Mariko yang memiliki kemampuan supranatural untuk mengusir roh jahat yang bersemayam di perut Fukie. Namun apa yang terjadi malah diluar dugaan, bukannya berhasil, tapi malah membuat keadaan menjadi semakin parah. Tidak ada yang bisa diandalkan dalam installement terkahir Ju-On series ini. Bisa dibilang Girl in Black adalah yang terburuk, jangankan untuk menandingi kehebatan dua seri Ju-On milik Takashi Shimizu, untuk mengimbangi Lady in White yang ironisnya dibuat oleh sutradara yang sama saja film ini tidak mampu berbicara banyak. Plot yang lemah , dipaksakan dan terlihat kacau dan hantu-hantu yang tidak seram sama sekali menjadi faktor-faktor utama gagalnya film ini membuat penontonnya terkesan, meskipun masih tetap setia dengan pemabagian chapter cerita non-lienar seperti seri-seri sebelumnya, tetap saja tidak menjadikan Girl in Black lebih baik, bahkan kehadiran 'cameo' Thosio yang tidak jelas malah membuat film ini menjadi semakin terasa konyol. Ya, memang harus diakui The Grudge: Girl In Black / Ju-on: Kuroi Shoujo adalah yang terburuk dari seri-seri Ju-On sebelumnya. Kehadirannya tanpa ide cerita yang segar dan sesuatu yang spesial malah membuat film berdurasi 60 menit ini hanya sebagai ajang membuang-buang waktu saja. 5/10 |
#7
|
||||
|
||||
![]() Solomon Kane (2009) ![]() Solomon Kane: " There are many paths to redemption, not all of them peaceful " Story: 1600, di sebuah tempat di Afrika Selatan, Solomon Kane (James Purefoy), seorang kapten kapal dan juga prajurit bayaran milik Ratu Elizabeth I ini barus saja menaklukan sebuah kota bersama pasukannya. Dengan kejam dan tanpa ampun Kane menghabisi semua prajurit-prajurit lawan sampai akhirnya ia seorang diri harus berhadapan dengan iblis pencabut nyawa yang sudah menunggu kedatangannya untuk membawa jiwa Kane ke neraka. Setelah melalui pertarungan singkat Kane berhasil lolos dan melarikan diri dari cengkeraman sang Iblis. Semenjak itu hidup Kane berubah drastis, sudah setehun ini Ia mengabdikan dirinya pada Tuhan di sebuah biara di Inggris. Solomon Kane kini sudah bukan lagi seorang yang haus darah, Ia sudah bertobat, menjadi orang yang cinta damai dan bersumpah tidak akan pernah melakukan lagi 'hobi' masa lalunya lagi. Namun sekali lagi takdir berkata lain. Berawal dari sebuah mimpi yang dilihat oleh kepala biara, Solomon Kane terpaksa harus meninggalkan tempat tersebut karena ia dianggap akan membahayakan nyawa para penghuninya. Tidak memiliki pilihan lain, Kane pun akhirnya meninggalkan biara tersebut dan berencana kembali pulang ke kampung halamannya. Dalam perjalannya, Kane bertemu dengan segerombolan perampok, namun karena dirinya sudah bersumpah tidak akan lagi membunuh Kane pun merelakan dirinya dikeroyok hingga pingsan. Beruntung nyawanya diselamatkan oleh William Crowthorn (Pete Postlethwaite), yang kebetulan sedang melakukan perjalanan mencari tempat tinggal baru bersama keluarganya dan Kane pun kemudian diajak ikut bersama mereka. Pertemuannya dengan keluarga Crowthorn menjadi awal dari ujian berat Solomon Kane. Kehadirannya ternyata telah diketahui oleh seorang penyihir jahat bernama Malachi (Jason Flemyng) yang kemudian memaksanya untuk melanggar sumpahnya kepada Tuhan untuk tidak membunuh. Ya, sebuah keadaan mengaharuskanya menghabisi serdadu-serdadu jahat Malachi yang telah menyerang keluarga Crowthorn dan menculik putri mereka, Meredith (Rachel Hurd-Wood). Dengan sekuat tenaga, Kane mengejar pasukan Malachi. Pengejaran tersebut ternyata membawanya kembali ke Devon, tanah kelahiran yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Di sana, dia menemukan kenyataan pahit yang tidak pernah ia duga selama hidupnya. Di sana, ia menyadari bahwa misinya tidak hanya menyelamatkan Meredith dan membebaskan jiwanya dari neraka. Ia harus melakukan sesuatu demi tanah kelahirannya dan keluarganya. Review: Jika dilihat sepintas mungkin orang akan mengira bahwa film ini adalah lanjutan kisah dari Van Helsing yang dibintangi oleh Hugh Jackman. Wajar saja jika berpikiran seperti itu karena selain kostum dan topi hitam yang menjadi ciri khas pemburu vampire tersebut, wajah karakter Solomon Kane pun juga terlihat sangat mirip dengan akor asal Australia tersebut. Namun Solomon Kane jelas bukanlah Van Helsing, Pahlawan asal Inggris yang namanya kurang di kenal di Indonesia ini adalah karakter rekaan yang dibuat oleh Robert E. Howard pada tahun 1928 untuk mengisi salah satu cerita dalam majalahya. Dengan berbekal kisah tersebut, sutradara asal Inggris yang sebelumnya pernah menghasilkan Deathwatch dan Wilderness , Michael J. Bassett dengan percaya diri menghadirkan sosok Solomon Kane dalam versi live action-nya, bahkan ia sendiri turun tangan dalam menggarap naskah filmnya. Solomon Kane adalah sebuah kisah fantasi supranatural, namun tidak seperti film lain bergenre sama yang biasanya diasosiasikan dengan film-film kelas dua, Solomon Kane ternyata diluar dugaan mampu tampil cukup baik, apalagi mengingat biaya produksinya juga tidak terlalu besar (hanya 40 juta Dollar). Dari segi cerita memang tidak ada yang terlalu spesial, standart seperti film-film bertema sama dimana digambarkan sang hero berusaha mencegah kejahatan untuk menguasai dunia. Namun ada beberapa point yang membuat film produksi tiga negara ini (Inggris, Perancis dan Ceko) ini menjadi berbeda. Misalnya saja Bassett terbilang sukses mengarahkan aktornya untuk mencapai hasil yang maksimal, dapat dilhat dari keberhasilan James Purefoy beradaptasi dengan karakter Solomon Kane dan bagaimana aktor asal Inggris tersebut sukses membawakan karakternya itu melawati masa teransisi dari seorang pria jahat menjadi seorang pahlawan, sebuah pengembangan karakter yang mungkin jarang ditampilkan dalam film-film berbiaya rendah yang biasanya menampilkan karakter pahlawannya tanpa emosi yang berarti. Di sisi visual, Solomon Kane memang tak bisa dibilang yang terbaik, film ini bukanlah Lord of The Ring yang memiliki dana yang tak terbatas, ini hanya Solomon Kane yang dengan dana yang kecil harus memaksa sang sutradara harus memutar otak untuk menggunakan sumber daya yang ada untuk dapat menampilkan visual sebaik mungkin, dan hasilnya tidaklah terlalu buruk, masih bisa masuk dalam kategori 'lumayan' dan tidak memalukan. Overall, untuk ukuran film fantasi berbudget rendah seperti ini, ternyata Solomon Kane tampil tidak terlalu mengecewakan seperti yang dibicarakan banyak orang. Jangan terlalu banyak berharap akan sebuah kepahlawanan luar biasa dengan efek-efek CGI spektakuler, nikmati saja kisahnya yang sederhana niscaya anda akan terhibur seperti sayam sambil sekalian berharap sekuelnya nanti akan lebih baik dari yang ditampilkan sekarang. 7/10 |
#8
|
||||
|
||||
![]() Y tu mam� tambi�n / And your mother too (2001) ![]() "Life has its way of teaching us. Life has its way of confusing us. Life has its way of changing us. Life has its way of astonishing us. Life has its way of hurting us. Life has its way of curing us. Life has its way of inspiring us." Story: Semuanya Berawal dari keisengan yang dilakukan oleh Tenoch (Diego Luna) dan sahabat karibanya, Julio (Gael Garc�a Bernal) disebuah pesta pernikahan. Tenoch, mencoba menarik perhatian, Luisa (Maribel Verd�) seorang wanita yang usianya lebih tua darinya dengan mengajaknya ke sebuah pantai nan indah bernama la Boca del Cielo ("Heaven's Mouth"), padahal pantai itu sebenarnya tidak pernah ada, semuanya hanya karangan Tenoch. Awalnya Luisa menolak ajakan dua pemuda ABG tersebut, namun dikarenakan sesuatu hal yang membuat dirinya sakit hati, Luisa akhirnya memutuskan menghubungi Tenoch dan Julio untuk berpergian bersama. Jelas saja baik Tenoch dan Julio tidak mengetahui dimana letak pantai khayalan mereka, namun hal tersebut tidak membuat dua sahabat karib itu membatalkan niatnya untuk berpergian bersama Luisa. Ya, dengan mengendarai mobil milik Julio mereka bertiga kemudian melakukan perjalanan lintas Meksiko. Namun Siapa yang menyangka bahwa perjalanan yang berawal dari sebuah keisengan itu akan menjadi awal sebuah perubahan besar dalam kehidupan mereka bertiga. Review: Menonton road movie selalu menjadi keasyikan tersendiri bagi sebagian penontonnya, termasuk bagi saya yang paling menikmati film-film jenis ini. Jika dilihat sekilas dari kulit luarnya mungkin tidak ada yang berbeda pada Y tu mam� tambi�n. Layaknya road movie pada umumnya, secara garis besar film ini juga menceritakan pengalaman dan suka duka karakter-karakter utamanya disaat mereka melakukan perjalanan darat, melewati jalan-jalan panjang yang dilatar belakangi pemandangan-pemanadangan alam indah, yang pada akhirnya juga disertai dengan sebuah kisah pencarian jati diri setiap individunya. Namun yang membuat Y tu mam� tambi�n menjadi istimewa dan unik dikarenakan bagaimana Alfonso Cuar�n yang disini bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis naskah mampu menampilkan sebuah kisah coming of age tentang pencarian jati diri dua pemuda ABG dengan caranya yang unik, lucu dan juga emosional. apalagi Cuar�n disini juga terbilang berani memasukan muatan-muatan seks frontal kontroversial dan mencampurnya dengan elemen-elemen sosial-politik yang tercermin dalam kejadian-kejadian kecil dalam perjalanan yang dilakukan oleh 3 karakter utamanya. Dengan mengkombinasikan gaya becerita naratif, pengunaan teknik long take dalam hampir semua adegannya, serta dukungan akting luar biasa dari Diego Luna, Gael Garc�a Bernal dan Maribel Verd� membuat 105 menit menyaksikan film ini menjadi sebuah pengalaman sinematik luar biasa. Beruntung bagi Cuar�n medapatkan dua aktor Meksiko paling berbakat. Baik Gael Garc�a Bernal dan Diego Luna tampil fantastis dan sangat natural dalam membawakan peran mereka, Ya, mereka adalah dua tokoh paling sentral yang mampu membuat film ini menjadi lebih bernyawa. Salah satu yang juga menjadi keunikan tersendiri dalam film ini adalah pengunaan musik latar yang tidak biasa. Sebenarnya film ini sama sekali tidak memiliki soundtrack yang memang khusus dibuat, semua musik / lagu yang terdengar merupakan musik / lagu yang langsung terdengar dari radio maupun alat pemutar musik yang ada diputar dalam film itu sendiri. Narator yang membawakan narasi juga tidak kalah uniknya, Ia tidak hanya sebagai orang yang menceritakan kisah dalam film ini, namun juga sebagai memberikan informasi-informasi diluar konteks cerita bagi semua karakternya, ya semua karakter bahkan termasuk bagi kawanan babi yang sama sekali tidak memiliki peranan penting. Overall, Y tu mam� tambi�n / And your mother too menjadi contoh nyata bagaimana road movie yang baik dan unik itu dibuat. Tidak hanya mampu menghibur namun juga memberikan inspirasi bagi para penontonnya tentang bagaimana menjadi pribadi yang dewasa. Bahkan salah satu film Indonesia, 3 Hari Untuk Selamanya terinspirasi dari film terbaik Alfonso Cuar�n ini. 8,2/10 Last edited by hafi; 13th September 2010 at 11:01 PM. |
#9
|
||||
|
||||
![]() After.Life (2009) ![]() " How do you save yourself when you're already dead? " Story: Setelah peristiwa kecelakaan lalu lintas menimpanya, Anna (Christina Ricci) terbangun di sebuah kamar mayat, tidak bisa bergerak dan hanya ditemani oleh seorang pria paruh baya yang tampaknya sibuk mempersiapkan sesuatu. Pria tersebut adalah Eliot Deacon (Liam Neeson), direktur pemakaman merangkap perias mayat yang sendang mempersiapkan tubuh Anna untuk dimakamkan. Anna yang terkejut dan ketakutan pun mulai memberontak karena merasa dirinya masih hidup. Namun dengan tenang Eliot meyakinkan perempuan muda itu bahwa Ia memang sudah mati sejak 8 jam yang lalu akibat kecelakaan yang dialaminya, bahkan Eliot pun menunjukan sertifikat kematiannya. Elliot juga menjelaskan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat melihat dan mendegar arwah penasaran serta membantu mereka dalam masa transisi mereka menunju alam baka. Sementara itu pacar Anna, Paul Coleman (Justin Long) yang sangat terpukul dan bersedih atas kematian kekasihnya mulai mencurigai tindak-tanduk Elliot yang sama sekali tidak mengijinkannya untuk melihat mayat Anna. Semakin Paul meyelidik apa yang sebenarnya terjadi sebenarnya terjadi semakin orang-orang disekitarnya menganggapnya gila. Apakah duggan Elliot yang menganggap Anna sebenarnya masih hidup itu benar atau hanya imajinasinya saja? Siapa dan apakah motif Elliot sebenarnya menyimpan tubuh Anna? Review: Premis tentang kehidupan setelah kematian memang selalu menjadi sajian menarik jika dihadirkan dalam media film, apalagi jika genre film itu adalah horror. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita setelah kita mati, apakah roh kita akan langsung berangakat ke Surga atau Neraka, atau malah terjebak sebagai arwah penasaran di dunia ini memang sampai saat ini masih menjadi sesuatu yang hangat untuk diperbincangan. Nah, melalui debut horror psikologis milikinya, sang sutradara sekaligus orang yang bertanggung jawab dibalik pembuatan cerita Afer.Life, Agnieszka Wojtowicz-Vosloo bisa dibilang tidak terlalu buruk menyajikan sebuah kisah mencekam yang dipenuhi tanda tanya ini. Dengan menggabungkan elemen-elemen horror klasik seperti pencahayaan yang remang-remang, ruangan gelap, dan penampakan-penampakan yang entah itu hanya sekedar sebuah mimpi, imajinasi ataupun realita dengan plot-nya yang penuh dengan ambiguitas, Vosloo tidak hanya berhasil membangun atmsofer mencekam namun juga sukses membuat penontonnya terjebak dalam kebingungan akut, hasilnya penonton akan dijamin selalu bertanya-tanya sepanjang film, apakah yang sebenarnya terjadi pada Anna, apakah Ia sudah mati atau masih hidup? Ya, pertanyaan itulah yang akan selalu berputar-putar di benak penontonya, bahkan hingga kegelapan credit tilte muncul, film ini masih akan meninggalkan perdebatan yang menarik untuk dibahas. Walaupun cerita yang disajikan terbilang menarik namun Vosloo tampaknya gagal dalam menjaga kekonsistenan cerita, karena apa yang terjadi setelah paruh film berjalan cerita menjadi semakin absurd. Tidak ada penjelasan-penjelasan dasar yang diberikan seakan-akan membuat penontonnya ditinggal begitu saja, seperti kenapa Anna menjadi depressi diawal film? kenapa hubungannya dengan sang ibu terlihat jauh? Siapa sebenarnya Elliot? dan beberapa pertanyaan lain yang tak terjawab jelas mengurangi nilai film ini. Atmosfer yang dihasilkan memang cukup mencekam, setidaknya bagi penonton horror awam, namun tidak untuk ukuran para horror junkies yang jelas mengaharapkan sesuatu yang lebih menakutkan dan mengerikan dariapada yang sudah disajikan Vosloo dalam After.Life ini. Melihat jajaran cast-nya, kehadiran Liam Neeson jelas cukup mengejutkan karena mau tampil di film seperti ini. Berperan sebagai sosok antagonis rupanya tidak membuat aktor asal Inggris ini kesulitan membawakan perannya sebagai seorang Undertaker misterius. Justru nampaknya penampilan Christina Ricci yang tidak terlalu meyakinkan, walaupun sudah tampil habis-habisan bahkan sampai rela memamerkan tubuhnya tanpa sehelai benangpun tetap saja tidak membuat Ricci bisa tampil bagus. Sama seperti Ricci, Justin Long-pun juga tampil biasa saja, malah aktor satu ini terlihat lucu disaat ia berusaha tampil serius. Overall, premis yang sangat menarik namun sayang tidak dibarengi dengan kekonsitenan ceritar, sehingga membuat After. Life harus menderita diparuh akhir, cerita menjadi kendur dan kurang greget. Namun dibalik kekurangan-kekurangannya, setidaknya After. Life cukup menghibur, mengingat film ini adalah film debutan dari sutradara yang kurang dikenal. 6,9/10 |
#10
|
||||
|
||||
![]()
mantabs ndan review nya..
met gabung yah.. ![]() |
![]() |
|
|
|