Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Lounge

Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 27th May 2012
golputaja's Avatar
golputaja golputaja is offline
Ceriwis Addicted
 
Join Date: May 2012
Posts: 3,992
Rep Power: 19
golputaja mempunyai hidup yang Normal
Default Ada Untung di Balik Tangisan

diambil dari www.remotivi.or.id



Ada Untung di Balik Tangisan



Oleh: Ambar Arum



Suatu hari di Purwakarta: �Wah, Mbak dari Jakarta ya? Mana kuat jalan jauh panas-panas begini, kotor pula, kan Mbak pasti sudah kebiasaan ke mana-mana naik mobil ya? Ngapain Mbak ke sini? Kan lebih enak di Jakarta? Di sini mah nggak enak, Mbak, kalau dibandingkan dengan Jakarta.�



DEMIKIAN cuplikan obrolan saya dengan Pak Sugeng, seorang petani. Jujur, saya kaget mendengar pernyataan itu. Saya memang dari Jakarta, tapi bukan termasuk pengguna mobil. Saat itu saya heran, kenapa orang Jakarta melulu identik dengan �bermobil dan hidup enak�, sehingga saya dianggap tidak sanggup berjalan jauh?



Sampai suatu saat saya menyaksikan Jika Aku Menjadi (JAM) di Trans TV. Tayangan ini, di setiap episodenya menampilkan seorang gadis kota yang menginap beberapa hari di rumah salah satu warga desa. Ia diminta mengikuti keseharian warga tersebut, yang berbeda jauh dari kebiasaan si gadis di tempat tinggalnya. Sekilas tayangan ini nampak baik, menggugah rasa kemanusiaan, juga belajar memahami hidup orang lain. Namun secara tersirat saya menemukan beberapa persoalan yang mengganjal.



Penunggalan Makna Warga Perkotaan



�Capek banget ya kerja kayak gini. Panas banget pula,�

�Aku biasanya di rumah enak banget, apa-apa dilayanin,�

�Ibu penghasilannya cuma segini? Ya ampun kasihan banget,�



Kalimat-kalimat macam di ataslah yang sering kali diucapkan sang tamu di JAM. Oh! Saya mulai mendapat gambaran kenapa Pak Sugeng punya persepsi bahwa orang kota seperti saya ini terbiasa hidup enak. Ternyata di layar kaca�seperti dalam tayangan ini�orang kota ditampilkan serba kontras dibandingkan orang yang tinggal di desa, mulai dari pakaian, gaya hidup, hingga perilaku.



Ya, mungkin ini kesimpulan yang terlalu dini untuk menuduh bahwa perspektif Pak Sugeng adalah hasil pengaruh tayangan JAM. Tapi yang ingin saya katakan adalah, lewat representasi tiap talent yang dipakai, JAM seperti ingin memberikan kesimpulan tentang gambaran umum karakter warga perkotaan. Warga pedesaan dicekoki pernyataan yang mengadegankan ketidakharmonisan warga kota dengan situasi pedesaan. Dan lewat talent yang hadir tanpa variasi karakter tiap edisinya, narasi JAM adalah sebuah usaha penunggalan makna atas warga perkotaan. Seolah warga kota hanya itu dan memang begitu.



Mungkin inilah yang membuat JAM laku bak opera sabun yang buihnya bikin perih: banyak tangisan yang dapat diperas, kemudian didapatlah simpati terhadap si tuan rumah. Penonton diajak berharu biru menyaksikan �kerasnya� kehidupan si tuan rumah. JAM mencoba mengolok keteguhan sikap warga desa dalam situasi serba terbatas sebagai sesuatu yang eksotis.



Namun, tampaknya tayangan ini terlalu menyederhanakan persoalan. Mereka yang hidup di pedesaan hidupnya hanya diukur dari faktor ekonomi semata. Apakah definisi miskin yang tunggal dan seragam bisa dipakai untuk semua orang dengan berbagai macam latar belakang? Sialnya, pengukuran ekonomi seperti itu juga dipakai untuk mengukur kebahagiaan seseorang. Sehingga muncul anggapan, mereka yang terkategori miskin melalui definisi tadi pastilah hidupnya tidak bahagia, tidak beruntung, kasihan.



Apakah iya, ukuran keberuntungan bisa diukur dari faktor ekonomi semata? Apakah benar dalam �kemiskinan� sulit menemui kebahagiaan? Apakah masyarakat kaya yang tinggal di perkotaan dengan tingkat polusi yang tinggi lebih beruntung dari masyarakat pedesaan yang tinggal di pinggir sawah dengan udara yang bersih dan suasana yang tenang?



Generalisasi definisi miskin dan pengukuran kualitas hidup melalui faktor ekonomi semata, hanya menggiring penonton pada cara berpikir yang hitam putih. Secara dangkal, JAM kerap mengkontruksikan pemaknaan tak semena atas ketidakberuntungan masyarakat yang tinggal di desa. Si tuan rumah, dan penonton yang �senasib� dengan tuan rumah pun, pada akhirnya menerima persepsi demikian: �Oh ternyata saya ini orang miskin, saya kasihan, tidak bahagia, hidup saya susah�. Yang, mungkin, sebelum ada JAM, mereka tidak tahu bahwa mereka termasuk orang yang patut dilabeli miskin.



Tayangan Untuk Siapa?



Betul, JAM mungkin bertujuan untuk menggugah simpati penonton terhadap masyarakat ekonomi rendah. Tapi tunggu dulu. Siapa yang bakal ikut bersimpati? Siapa yang bakal ikut terharu biru menyaksikan kehidupan si tuan rumah?



Televisi adalah media dengan persebaran penonton yang sangat luas dan beragam, dari muda hingga tua, dari kelas atas hingga bawah, dari desa hingga kota. Lantas, penonton mana yang akan ikut bersimpati dengan adanya tayangan ini? Penonton mana yang akan tergugah rasa kemanusiaannya? Apakah Pak Sugeng, petani di Purwakarta itu, akan ikut iba menyaksikan si tuan rumah, sementara hidupnya tak jauh berbeda?



Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dengan standar ekonomi yang rendah. Dari tayangan macam JAM-kah, mereka bisa berharap untuk mendapatkan sesuatu? Alih-alih bermanfaat, tayangan ini malah semakin mendikotomikan mereka sebagai warga yang liyan (others).



Buat saya, JAM adalah tayangan konsumsi kelas menengah perkotaan yang membutuhkan sensasi pengalaman mengasihani mereka yang dianggap tidak beruntung. JAM adalah tontonan untuk mereka yang hidupnya bisa terhibur dengan cukup berlaku iba barang puluhan menit, tiap harinya, di depan televisi.



Lantas bagaimana dengan penonton yang membutuhkan tayangan inspiratif sambil tanpa kehilangan kesempatan untuk bersyukur dan ingat kepada sesamanya dengan cara yang lebih cerdas dan mendalam? Bagaimana dengan penonton yang tidak tinggal di kota yang membutuhkan refleksi mengenai diri mereka dengan lebih utuh, adil, dan kontributif terhadap karakter mereka? Bukankah mereka semua masing-masing punya hak yang sama untuk mendapatkan tayangan yang berguna untuk kehidupannya?



Atau apakah JAM hanyalah tontonan untuk kalangan minoritas, minoritas yang berduit, minoritas yang tinggal di perkotaan?



Ketika tiba di penghujung tayangan, adegan tangis-menangis kembali meledak. Namun kali ini bukan dari si gadis, melainkan dari si tuan rumah. Ada apa? Rupanya sebelum berpamitan, sang gadis menghadiahi banyak sekali barang untuk si tuan rumah, seperti televisi, sembako, kadang-kadang emas, dan harta benda lainnya.



Okelah. Tayangan ini mungkin menggugah rasa kemanusiaan sebagian penonton. Betul juga kalau kita seharusnya saling tolong menolong, memberi kepada yang membutuhkan. Namun rasanya JAM tidak berada dalam semangat berempati yang tanpa artisial. Tayangan ini tidak akan dibuat kalau tidak memberi keuntungan banyak bagi stasiun televisinya. Tayangan ini tidak semulia itu, kawan. Ada untung di balik tangisan.



---



Keterangan Acara (Data diambil pada tayangan Jika Aku Menjadi edisi Rabu, 9 September 2011):



Ketua Dewan Redaksi
: Wishnutama



Pemimpin Redaksi: Gatot Triyanto



Wakil Pemimpin Redaksi
: Rizal Firmansyah, Dede Apriadi



Produser Eksekutif: M. Noor Hidayat



Produser: Sahwani Yakub, Osa Budi Santosa



Pengiklan: Citra, Clear, Lasegar, Pond�s, Rejoice, Susu SGM, Vaselin, Head and Shoulders, Total, Bebelac, Dove, Axis, Anlene, Kispray, Vegeta, Paramex, Central Spring Bed, Venus, Google Chrome, Sinde, Hit, Honda, Pantene, Buavita, Vegeta, Force Magic, Milo, Surf, Susu Nutrilon, Rinso, Marina, Pepsodent, Kartu AS



--

REMOTIVI

"Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu"



www.remotivi.or.id | Twitter | Facebook



Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 02:35 AM.


no new posts