Intelejen Indonesia telah terlibat dalam perbuatan kotor. Munir tewas dalam sebuah pembunuhan yang direncanakan oleh (oknum) BIN. Munir tewas, setelah banyak aksinya membuat gerah pembesar militer zaman orde baru yang rajin melakukan pelanggaran HAM. Akhirnya para perwira tinggi yang katanya gagah perwira itu kecut juga dengan kelantangan tuntutan peradilan bagi pelanggaran yang dilakukan Munir dan kawan-kawan seperjuannya. Hingga Munir pun jadi korban.
Intelejen Indonesia, yang didirikan Zulkifli Lubis, disetting untuk menjadi intelejen militer sejak awal. Sama seperti CIA�yang sebelumnya disebut OSS�yang ditugaskan dalam perang dunia II. Tapi CIA saat ini tidak berwajah militer. Berbeda dengan Indonesia. Intelejen selalu jadi milik militer. Karena militer, sejak zaman revolusi penuh intrik, karena rebutan pengaruh antar elit, maka badan intelejen dibawah tubuh militer juga akhirnya labil.
BIN (Badan Intelejen Negara), yang ada sekarang juga berwajah militer. Kepala BIN selalu orang militer, bekas Jenderal. Badan intelejen ini makin terpuruk dengan terbunuhnya Munir. Namun, pejabatnya tetap saja tidak tahu malu. Dengan gaya Indonesianya, mereka tetap pasang gengsi dan berlagak suci. Padahal, dalam pembunuhan Munir, BIN jelas terlibat.
Nama BIN juga ikut terjual dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Dimana para pembunuh di lapangan, selain diberi uang, juga disemangati oleh si pemberi order bahwa mereka melakukan tugas rahasia dari negara untuk membunuh Nasrudin. Bisa jadi akan ada kasus lain yang mengatas-namakan tugas negara. Apalagi, banyak orang tahu bahwa dinas intelejen tentu merekrut agen secara tertutup. Dan siapa saja bisa menjadi agen rahasia.
Kasus Munir sendiri telah memberikan sebuah opini pada publik bahwa BIN begitu mudahnya menjadi alat politik untuk menyingkirkan orang-orang kritis seperti Munir. BIN tentu memiliki banyak jaringan untuk beraksi, terutama BUMN seperti Garuda Indonesia dalam kasus Munir. Dan, si Policarpus�sang pilot senior Garuda, dianggap sebagai agen Intelejen oleh banyak orang. Artinya jelas bahwa BIN bisa merekrut siapa saja.
Tidak ada Negara yang bebas dari Intelejen. Jadi dalam wilayah sebuah negara, tidak ada area bebas intelejen. Itu tidak mungkin. Di area kampus, juga pergerakan mahasiswa, badan intelejen pasti bisa mencari agen tidur atau agen yang tidak sadar bahwa dirinya bagian dari spionase. Hal ini dimaksudkan untuk membayangi kegitan kampus, juga mahasiswa pergerakannya.Tidak hanya di kampus, di wilayah lain dalam sebuah negara juga ada dan agen-agen itu bisa menyaru sebagai apa saja. Idealnya, dalam dunia intelejen, harusnya bisa memantau sebanyak-banyaknya kegiatan rakyat di sebuah negara.
Karena berguna dalam intrik-intrik politik, maka baik data-data maupun personil intelejen menjadi vital bagi sebuah negara. Juga penting bagi sejumlah pejabat berkuasa untuk menjaga kepentingannya. Jangan heran jika BIN kemudian bisa diperalat pejabat penting untuk menghabisi nyawa orang lain.
Pentingnya intelejen juga telah diinsyafi banyak pejabat di Indonesia sejak negara Republik ini berdiri. Amir Syarifudin berusaha menguasai intelejen berada dibawah kendalinya. Bagian V yang dibawah naungan Amir itu tidak berumur panjang. Amir Syarifudin hanya ingin memanfaatkannya saja untuk tujuan politisnya. Demi ambisinya itu, Amir harus merusak kerja Lubis yang jatuh bangun membangun sebuah badan intelejen dengan personil berkualitas. Namun ketika Amir mengambil alih intelejen, maka kerja Lubis berantakan. Sementara itu Bagian V yang dipercayakan Amir kepada Abdul Rachaman�mantan kadet Angkatan Laut Belanda yang tidak sepakar Lubis�tidak bisa berbuat banyak, hingga Bagian V pun akhirnya bubar tanpa melakukan hal penting seperti badan intelejen yang sebelumnya dibangun Lubis.
Seorang politisi kuat, memang perlu memiliki jaringan intelejen untuk memperjuangkan kepentingannya. Jika perlu si politisi menjilat kepada Presiden untuk mengadakan sebuah Badan Intelejen. Meski badan intelejen itu juga kemudian mandul.
Intelejen Indonesia, telah melalui banyak tugas intelejen sejak tahun 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan dan setelahnya menjaga kestabilan negara. Namun Indonesia masih belum memiliki badan Intelejen mapan seperti CIA. Selain belum mapan, intelejen Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari elet politik tertentu, seperti dalam kasus Munir. Idealnya badan Intelejen Indonesia hanya bisa diakses dan bertindak atas sepengetahuan Presiden Republik Indonesia. Jadi Presiden, bersama Menteri Pertahanan dan Kepala Intelejen, bisa bertanggung-jawab atas sepak terjang badan intelejen. Namun tetap saja sulit. Tidak ada yang bisa dipercaya dari sebuah badan Intelejen. Selalu ada hal yang mengejutkan dan diluar nalar kita.