Lampu merah untuk biofuel di Indonesia

fairypotter

Quote:

Barto, sebagai tetua masyarakat Dayak Kanayan di pedalaman Kalimantan, lebih terlihat sedih dibandingkan dengan kemarahan yang dipendamnya.

Seperti yang dituturkan kepada BBC, tanah leluhur yang telah dimiliki masyarakat Kanayan, telah berubah menjadi ladang kelapa sawit.

Aruk, dimana Barto dan masyarakat Kanayan tinggal turun temurun berada di Kalimantan Barat dan terletak di dekat perbatasan dengan Malaysia. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang menjadi pusat pengembangan minyak sawit, sejalan dengan harapan bahwa Indonesia akan meraih keuntungan atas meningkatnya permintaan minyak tersebut dari China, India dan Eropa.

Eropa sendiri akhir-akhir ini akan menggantikan 10% kebutuhan bahan bakarnya dengan bahan bakar bio, termasuk minyak sawit pada 2020.

Aruk hanyalah salah satu desa dari beberapa desa yang harus menyerahkan tanah yang dimiliki leluhurnya kepada perusahaan-perusahaan minyak sawit.

Alexander, sepupu Barto harus kehilangan tanahnya seluas 4 hektar tahun lalu.

Alexander menuturkan, suatu pagi ketika dia pergi ke tanah yang dimilikinya, dia hanya menemukan dataran kosong dengan semua pepohonan karet dan tanaman lain yang dimilikinya telah diratakan dengan tanah. Kini, dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi ketiga anaknya.

Perusahaan (masih di bawah perusahaan Indonesian Duta Palma Group) yang menguasai tanahnya, menawarkan kompensasi kepada Alexander atas tanah yang dimiliknya. Namun menurutnya, kompensasi tersebut tidak cukup, dan dia belum menerima kompensasi tersebut.

Menurut para petani di wilayah tersebut, sekitar 25 area tanah yang mereka miliki telah diratakan untuk pengembangan minyak sawit tanpa sepengetahuan mereka.

Akibatnya, pada bulan April lalu, sekitar 300 orang menyita buldoser dan truk yang dimiliki perusahaan tersebut.

Menurut Jefri Gideon dari Sawit Watch, sebuah organisasi non-pemerintah, terjadi peningkatan konflik tanah yang sangat siginifikan sejak permintaan minyak sawit melonjak. Jumlah komunitas masyarakat yang terlibat dalam konflik bertambah lebih dari 50 sejak tahun 2005 di Kalimantan Barat, dan sekitar 400 untuk keseluruhan di Indonesia.

KOnsesi yang diberikan perusahaan-perusahaan di Kalimantan Barat meningkat dari 500.000 hektar di tahun 1990 menjadi lebih dari 3,2 juta hektar saat ini.

Menurut Sawit Watch, penyebab utamanya adalah kemudahan memperoleh konsesi dari bupati. Sementara para petani jarang yang memiliki hak kepemilikan resmi.

Sawit Watch dan WALHI menyatakan bahwa konflik sosial merupakan salah satu sisi negatif dari pengembangan minyak sawit yang juga mengakibatkan berkurangnya luas hutan di Indonesia dengan sangat cepat.

Harga minyak sawit melonjak sejak awal tahun 2006. Perusahaan-perusahaan minyak sawit di Indonesia mencoba mengambil keuntungan dari hal tersebut. Tahun ini, Indonesia berencana akan menggantikan Malaysia sebagai pemasok terbesar minyak sawit.

Pemerintah dan analis industri mengatakan bahwa minyak sawit yang menjadi tren saat ini akan menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi ribuan pengangguran dan masyarakat miskin.

Tetapi banyak organisasi non-pemerintah menyatakan bahwa terlalu banyak perusahaan yang tidak mengikuti aturan yang berlaku.

Sumber..!!?

Terkait: