|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
================================================== ====== ------------------------------------------------------------------------ Sebagaimana manusia, jin merupakan makhluq mukallaf (mendapat beban syariat) yang diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT (QS Adz-Dzariyat [51] : 56). Mereka diwajibkan untuk mengikuti syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu �alaihi wa sallam karena beliau memang diutus untuk manusia dan jin sekaligus, sebagaimana ijma� para ulama (lihat juga QS Al-Ahqaf [46] : 29 � 30 dan QS Al-Jinn [72] : 1 - 2). Adapun bagaimana cara mereka melaksanakan syariat Islam adalah sesuai dengan sifat dan kondisi mereka, yang tidak kita ketahui secara rinci. Diantara para jin ada yang beriman dan ada yang kafir, ada yang taat dan ada yang durhaka (QS Al-Jinn [72] : 11, 14-17). Mereka juga akan di-hisab untuk mendapatkan balasan baik ataupun buruk sesuai dengan amal mereka di dunia. Yang beriman dan taat diantara mereka akan mendapatkan kenikmatan di Surga, sedangkan yang kafir dan durhaka akan menerima siksa di Neraka (QS Al-An�am [6] : 130, QS Al-A�raf [7] : 38, 179, QS As-Sajdah [32] : 13, QS Ar-Rahman [55] : 46-47). Pola Hubungan antara Manusia dan Jin: 1. Jin dan manusia yang sama-sama merupakan makhluq mukallaf memiliki alam, kehidupan, tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri yang harus dijalani dan ditunaikan sesuai dengan sifat dan kondisi mereka masing-masing, di alam mereka masing-masing. Oleh karena itu, pada prinsip dan dasarnya, tidaklah diperbolehkan saling mencampuri antara satu dan yang lainnya. Sehingga jin yang melakukan campur tangan terhadap manusia, pada pada prinsipnya, adalah merupakan bentuk penyimpangan, sebagaimana manusia yang melakukan campur tangan terhadap jin, pada dasarnya, adalah sebuah penyimpangan juga. Kewajiban dakwah atas manusia dan jin misalnya, hanyalah untuk dilakukan di alam mereka masing-masing dan oleh golongan mereka masing-masing. Kecuali dalam kondisi-kondisi sangat khusus dan dalam �wilayah� yang terbatas sekali, seperti misalnya seruan dakwah yang ditujukan oleh peruqyah kepada jin yang berada dalam diri pasien kerasukan pada saat proses ruqyah sedang berlangsung. 2. Manusia tidak boleh meminta pertolongan dan perlindungan kepada jin karena jin tidak akan pernah menjadikannya sebagai sesuatu yang gratis dan cuma-cuma (QS Al-An�am [6] : 128, QS Al-Jinn [72] : 6). 3. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa seorang manusia mampu menguasai dan menundukkan jin tanpa kompensasi apapun, karena kemampuan untuk itu hanya Allah berikan kepada Nabi Sulaiman �alaihissalam (QS Saba� [34] : 12 - 14, QS Shaad [38] : 35 - 39). Maka, ketika seseorang merasa telah mampu menguasai dan menundukkan jin maka jin itulah yang sebenarnya telah lebih dulu menguasai orang tersebut. Hanya saja, yang bersangkutan tidak menyadarinya, karena memang pengelabuan dan tipu daya mereka amatlah halus dan menipu. 4. Manusia tidak bisa melihat jin (dalam wujudnya yang asli) sedangkan jin bisa melihat manusia (QS Al-A�raf [7] : 27). Adapun tentang klaim yang sering kita dengar bahwa seseorang bisa melihat jin, maka terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, yang bersangkutan berbohong dan berdusta. Imam Syafi�i rahimahullah mengatakan, �Barangsiapa mengaku bisa melihat jin, maka kami gugurkan kesaksiannya (karena dianggap telah berdusta sehingga tidak layak dipercaya lagi) berdasarkan firman Allah Ta�ala (yang artinya) �Sesungguhnya ia (Iblis) dan keturunannya bisa melihat kalian sementara kalian tidak bisa melihat mereka (QS Al-A�raf [7] : 27)� (Asy-Syibli dalam Aakaamul Marjaan hal. 23-24) . Kedua, jin telah menampakkan dirinya dalam wujud tertentu yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang tersebut. Ketiga, yang bersangkutan ketempelan tetapi tidak menyadarinya. Dalam hal ini, �kemampuan lebih� tersebut tidaklah murni kemampuan yang bersangkutan, akan tetapi atas bantuan jin, namun tidak disadari. Kasus seperti inilah yang biasanya dipahami oleh orang-orang bahwa seseorang memiliki indera keenam. Keempat, yang bersangkutan memang memiliki prewangan atau khadam dari golongan jin, baik yang bersangkutan mengaku ataupun tidak mengaku. 5. Prinsip dasar sikap manusia terhadap jin adalah sikap menghindar dan berlindung kepada Allah dari mereka. Jika ada yang mengatakan, �Mengapa sikap dasar kita menghindar dan berlindung? Bukankah diantara mereka ada yang beriman dan taat?� Jawabannya : Pertama, kemampuan kita untuk menjangkau mereka sangatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa membedakan antara yang taat dan yang durhaka diantara mereka. Kedua, kita tidak bisa dan tidak boleh percaya begitu saja kepada pengakuan mereka, bahwa mereka beriman dan taat misalnya. Karena Rasulullah shallallahu �alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa, mereka adalah makhluq pendusta (HR Bukhari yang mengisahkan jin yang datang untuk mencuri harta zakat dan shadaqah yang ditunggui oleh Abu Hurairah). Ketiga, alam jin yang diperkenalkan kepada kita oleh Al-Qur�an dan Al-Hadits lebih didominasi oleh pensifatan mereka sebagai syetan, yang tentu harus membuat kita bersikap waspada. Keempat, dalam realitas sejarah, jin-jin yang tampil dan hadir dalam kehidupan manusia kebanyakannya adalah jin-jin yang kafir dan durhaka, yang datang untuk hal-hal yang negatif dan merugikan, namun seringkali tidak disadari oleh manusia. Hal ini dikuatkan oleh penegasan Al-Qur�an ( QS Al-Ahqaf [46] : 29 - 32) bahwa, jin-jin yang shaleh yang mungkin sewaktu-waktu hadir dengan sendirinya dalam majlis-majlis ilmu, dzikir dan tilawah yang diadakan oleh manusia mukmin, begitu usai akan segera kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan yang telah mereka dapatkan, dan tidak malah tetap tinggal bersama manusia tersebut. �Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan syetan-syetan, dan aku berlindung kepada-Mu, ya Rabbi, dari kedatangan mereka kepadaku�. (QS Al-Mukminun [23] : 97 � 98) Wallahu a�lamu bish shawaab Terkait:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|