Posisi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga independen sedang dikaji ulang untuk meningkatkan effektivitasnya. Di negara lain, lembaga semacam ini berada di bawah Menteri Kehakiman atau Kepolisian.
"Ini sedang kita pelajari terutama untuk mengatasi masalah-masalah dalam tingkat tehnis," kata Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo, Senin (29/11) usai membuka Workshop Regional Aktivitas Perlindungan Saksi di Asia Tenggara di Denpasar.
Keberadaan LPSK di Indonesia baru berusia 2,5 tahun membuat kapasitasnya belum cukup ideal sesuai dengan misi awal lembaga yang ditetapkan dengan UU 13 tahun 2oo6 itu. Yakni, sebagai lembaga yang melindungi saksi dalam kejahatan-kejahatan besar dan terorganisir sehingga para saksi dan korban berada dalam posisi terancam. "Kalau pun tetap independen , LPSK harus mempunyai jalinan erat dengan penegak hukum yang lain," tegasnya.
Apalagi, tambah dia, untuk urusan-urusan tehnis perlindungan, lembaga lain telah memiliki kapasitas yang lebih cukup dibanding LPSK. Sebagai perbandingan, dia menyebut, lembaga semacam itu di Amerika Serikat berada di bawah Departemen Kehakiman. Adapun di Australia dan New Zealand, posisinya di bawah Kepolisian.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menyebut, pihaknya menekankan penguatan jejaring kelembagaan dalam perlindungan saksi. Karena itu di akhir Workshop yang akan diikuti oleh 12 negara itu akan ada penandatangananan "Piagam Kesepakatan" dengan Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi). Workshop juga digunakan untuk membangun jejaring kerjasama internasional untuk kasus-kasus lintas negara.
sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/hu...295251,id.html