Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > HOBI > Sports > Moto GP

Moto GP Para pecinta MOTO GP berkumpul dan membicarakan hobbynya disini.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 14th May 2016
Gusnan's Avatar
Gusnan Gusnan is offline
Moderator
 
Join Date: Jun 2013
Posts: 27,623
Rep Power: 49
Gusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyak
Default Analisis: Mengapa Pembalap Sekarang Begitu Sering Jatuh?





Anda mungkin teringat musim 2006 MotoGP: boleh disebut sebagai musim terbaik di era modern, yang berpuncak pada final di Valencia antara Valentino Rossi dan Nicky Hayden, dan lebih diramaikan lagi dengan comeback mengesankan Troy Bayliss yang menang di seri terakhir itu.
Anda mungkin juga mengenang musim itu karena beberapa kecelakaan yang terjadi, terutama tabrakan beruntun mengerikan di tikungan pertama Catalunya, lalu kejadian memalukan saat Colin Edwards terpelanting dari motornya pada tikungan terakhir di Assen saat bertempur melawan Hayden, dan Rossi yang jatuh sendiri di Valencia dan menjadi penyebab kegagalannya menjadi juara dunia. Ringkas kata, ada 98 kecelakaan sepanjang musim tersebut.
Satu dekade telah berlalu dari musim 2006 dan kelihatannya aman untuk berasumsi bahwa perbaikan pada rancangan mesin, sasis, rem, ban dan elektronik telah sangat membantu mengurangi tingkat kecelakaan di MotoGP.
Oh ya? Ternyata tidak persis begitu. Tahun lalu terjadi 215 kecelakaan di MotoGP, sehingga dalam 10 musim tingkat kecelakaan ini melonjak pesat hampir 120 persen!
Pastinya musim 2015 itu kasus yang unik kan? Tidak, tidak persis begitu juga. Dalam 10 musim terakhir tren kecelakaan di MotoGP memang cenderung meningkat: 2006, 98 kecelakaan; 2007, 117; 2008, 154; 2009, 104; 2010, 134; 2011, 157; 2012, 186; 2013, 205; 2014, 206; dan 2015, 215.
Tentu agar lebih akurat membandingkan statistik ini kita perlu melihat jumlah seri yang digelar dan jumlah pembalap yang terlibat: 20 pembalap dan 17 seri di 2006, dibandingkan 25 pembalap dan 18 seri tahun lalu. Bahkan dengan perbandingan ini, peningkatan angka kecelakaan tetap tinggi yaitu 80 persen.
Kenapa bisa begitu? Apa yang bisa menjelaskan peningkatan drastis ini sementara tingkat kecelakaan kelas junior (125/Moto3) dan intermediate (250/Moto2) relatif statis?
Ada Beberapa Teori
Salah satu penjelasan meningkatnya kecelakaan adalah makin ketatnya balapan, yang diakibatkan oleh makin berimbangnya mesin dan pengendali ban.
Di seri pembuka Qatar Maret lalu, hanya 2,6 detik memisahkan 20 pembalap dalam penentuan posisi start, dan 54 detik memisahkan 15 pembalap yang finis terdepan dalam balapan. Pada musim 2006 di Qatar, 4,05 detik memisahkan 19 pembalap di kualifikasi dan rentang 15 pembalap terdepan yang finis di balapan adalah 1 menit 22 detik — itu gap yang cukup besar.
Tahun lalu di Argentina, 20 pembalap yang finis berada dalam rentang kurang dari 60 detik, untuk pertama kali dalam sejarah. Jadi setiap seperseratus atau seperseribu detik bisa menentukan, sehingga setiap pembalap harus melewati setiap putaran dengan tingkat konsentrasi maksimal.
Jauh lebih lama lagi, para pembalap kelas premier bisa berada dalam rentang 10, 20 detik atau lebih lama lagi di kualifikasi sehingga menciptakan gaya membalap yang sangat berbeda.
“Mengenang balapan di New Zealand ketika saya masih bekerja dengan Ginger Molloy, yang baru kembali dari Eropa di mana dia finis kedua pada kejuaraan dunia 500cc tahun 1970,” kata Direktur Kiwi Race MotoGP, Mike Webb.
“Grand Prix ketika itu dimenangkan dengan selisih dua, tiga, atau bahkan empat menit. Jadi tidak banyak pertempuran di alur jalan yang sama.”
Teori Berikutnya, Ironi
Alasan kedua bagi meningkatnya kecelakaan adalah sebuah ironi: yaitu makin meningkatnya faktor keselamatan. Benar, trek lebih aman demikian juga perlengkapan membalap, sehingga si pembalap menjadi merasa berani untuk mengambil risiko lebih besar dari sebelumnya.
Beberapa dekade silam, ketika para pembalap Grand Prix melaju di jalan raya yang diapit bar dan halte bus, mereka sangat sadar kalau sampai terjadi kecelakaan, bisa jadi itu yang terakhir mereka alami. Jadi mereka berusaha memastikan tidak jatuh terlalu sering.
Sekarang ini, para pembalap bisa bangkit setelah jatuh, diantar ke pit dengan skuter dan kembali ke trek dengan motor cadangan hanya dalam beberapa menit. Area bahu jalan makin lebar dan lebih banyak dilapis aspal daripada gravel. Juga jaket, boot, sarung tangan, dan helm sangat protektif sehingga kecelakaan biasa tak meninggalkan luka goresan apa pun di badan pembalap. Mungkin hanya sedikit memar.
Ini hal yang bagus kan? Well, yes, namun ada beberapa pembalap yang yakin bahwa MotoGP malah terlalu aman sehingga beberapa pembalap yang lebih liar masuk tikungan tanpa peduli pada dunia, yang bisa membahayakan nyawa pembalap lain.
“Bahu jalan mendorong mereka lebih merangsek ke sisi, saya sudah mengatakan ini berkali-kali namun tidak ada yang mendengar,” kata Casey Stoner beberapa tahun silam.
“Para pembalap mendapat rasa percaya diri yang begitu tinggi sehingga mereka tidak takut. Yang mereka lihat di sisi lain pembatas trek adalah aspal juga, jadi tidak ada rasa takut.”
Setidaknya benar untuk beberapa pembalap. Dari ratusan kecelakaan musim lalu, hampir setengah di antaranya hanya melibatkan delapan pembalap. Sementara pembalap nomor satu dan dua di klasemen akhir masing-masing hanya tiga kali jatuh (catatan: kecelakaan bukan hanya dihitung dalam balapan, tapi juga sesi latihan dan kualifikasi).
Pengendali Traksi Juga Penyebab?
Traction control dalam MotoGP mengurangi risiko jatuh ketika berakselerasi keluar tikungan, sehingga semua pembalap bisa keluar tikungan nyaris dalam kecepatan yang sama. Jadi tidak mungkin lagi bagi pembalap untuk mengungguli yang lain dengan menguasai lintasan yang lebih baik atau pengendalian tarikan gas yang lebih baik.
Traction control tak diragukan lagi membuat balapan jauh lebih aman. Kita tidak lagi melihat lontaran yang meremukkan tulang seperti dulu. Namun teknologi juga punya efek yang nyaris pasti berkontribusi pada meningkatnya kecelakaan.
Karena sulit unggul saat keluar tikungan, para pembalap mencoba melakukannya saat masuk tikungan, di mana kemungkinan jatuh malah lebih besar.
“Sekarang semua orang berusaha masuk paling depan, jadi biasanya ada benturan kecil untuk mengunci posisi paling depan,” kata Stoner.
“Ini jauh lebih mudah untuk keluar dari kondisi itu, sehingga para pembalap mencoba makin keras dan tidak terlalu peduli apakah mereka akan jatuh atau melebar keluar trek.”
Karena itu, mayoritas kecelakaan MotoGP sekarang adalah ambruk menyamping (low-sides) yang jauh lebih tidak menyakitkan dibandingkan motor terpelanting (high-sides).
Sekarang ini pembalap yang cedera adalah pembalap yang sedang sial. Cedera serius di MotoGP cukup jarang. Tahun lalu cedera yang sampai menghalangi pembalap berlomba adalah retak pergelangan tangan yang dialami Stefan Bradl di Assen, cedera kaki Karel Abraham di Catalunya, dan benturan keras Alex de Angelis di Motegi yang membuatnya koma beberapa hari.
Bandingkan itu dengan era 500cc, ketika setengah dari pembalap masuk grid dengan satu atau dua tulang retak.
Tentu statistik yang benar-benar perlu disikapi adalah jumlah cedera atau tingkat cederanya, bukan jumlah kecelakaan yang terjadi (kecuali Anda membayar ongkos reparasi motornya). Lebih baik terjadi 1.000 kecelakaan dengan beberapa cedera ringan, daripada satu kecelakaan yang fatal.
Namun, setiap kecelakaan bisa berakibat sangat buruk meskipun sepele. Dari empat kasus kematian terakhir yang terjadi di semua kelas dan juga balapan penggembira, para korban seharusnya bisa bangkit dan selamat kalau tidak tertabrak motor lain.
Marco Simoncelli (Sepang, 2011), Shoya Tomizawa (Misano, 2010), Peter Lenz (Indianapolis, 2010) dan Taoufik Gattouchi (Losail, 2016) semuanya tertabrak motor hingga meninggal setelah terjatuh.
Sumber: Motorsport Magazine

Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 12:50 PM.


no new posts