FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak dan listrik, masih membelit anggaran negara. Berbagai cara terus diperjuangkan agar anggaran sehat. Mulai dari pembatasan konsumsi BBM hingga penghematan besar besaran. Tak cuma pada BBM, pemerintah pun mengupayakan penghematan konsumsi listrik. Tujuannya satu, pembengkakan subsidi akibat kenaikan harga minyak internasional tidak membuat anggaran negara jebol. Pemerintah saat ini gencar mengkampanyekan penghematan listrik dan BBM, posisi PLN sendiri bagaimana? Soal penghematan, pertama tentu duduk perkaranya dulu musti jelas. Memang pemerintah mendorong penghematan, tetapi jangan lupa PLN sendiri korporasi, kami jualan listrik. Kami tidak menyebut ini untuk mencari untung, tetapi menyediakan listrik sebisa mungkin untuk masyarakat. Masyarakat butuh, kami harus bisa menyediakan. Jangan sampai masyarakat butuh listrik, listriknya tidak tersedia. Tugas PLN pertama kali tentu saja menyediakan listrik yang cukup untuk seluruh masyarakat yang membutuhkan, jangan sampai tidak cukup, apalagi tidak ada. Mengenai penghematan, tentu kampanye dilakukan Kementerian Energi, barangkali Direktorat Jenderal Kelistrikan. PLN sendiri sifatnya memfasilitasi orang yang ingin melakukan penghematan. Masa kami jualan listrik, tapi menyuruh orang untuk hemat. Eh, jangan pakai listrik banyak-banyak ya...hahaha. Tentu PLN mengupayakan penurunan subsidi. Itu jelas. Karena pemakai listrik yang golongannya tinggi mendapatkan subsidi lebih rendah. Kami dorong orang yang ingin menyambung listrik ke rumah atau gedung dengan kapasitas sebesar mungkin, agar mereka membayar besar ke PLN dan subsidi turun. Itu concern kami. Namun, yang jelas kampanye penghematan energi itu dari pemerintah. Bukankah mendorong penggunaan listrik sebesar-besarnya membuat subsidi membengkak, karena masyarakat yang termasuk golongan tinggi pun masih disubsidi? Segmentasi tarifnya beda. Semakin tinggi golongannya, maka komponen presentasi subsidinya rendah. Memang masih disubsidi, tapi tidak sebanyak segmen yang lebih rendah. Akan berkurang subsidinya, secara absolut akan berkurang. Seberapa besar pertumbuhan listrik di Indonesia? Saya cerita fakta, tahun lalu, 2011, konsumsi energi naik 7 persen sedangkan pada 2010 sebesar 9 persen, sedikit menurun. Pertumbuhan listrik pada 2012 ini empat bulan pertama year on year 10,9 persen, nyaris 11 persen. Jadi kalau saya membacanya, sebagai penyedia listrik, kebutuhan listrik tinggi, kami harus sediakan. Konsumsi listrik tinggi, apa artinya? Kalau pemakaian listrik tinggi ekonomi sedang tumbuh. Saya selidiki, angka dari 11 persen itu breakdown-nya seperti apa, ternyata yang tumbuh paling besar dari rumah tangga. Rumah tangga yang mana? Rumah tangga kelas menengah dengan daya 2.200 VA dan 1.300 VA yang tumbuh gila-gilaan. 23 persen dan 30 persen. Ini karena mereka pada beli kulkas dan AC. Sedangkan untuk pertumbuhan industri hingga empat bulan pertama konsumsi energinya naik 10 persen, penambahan pelanggannya hanya 3,9 persen. Existing customer, konsumen yang lama, menambah konsumsi listriknya. Artinya apa? Ada pergerakan ekonomi di situ. Sedangkan untuk segmentasi bisnis, pertumbuhan energinya 8,4 persen, pertumbuhan pelanggannya naik 5,1 persen. Jadi kembali ke penghematan, kalau industri tumbuh seperti itu apa mau dihemat? Masa industri disuruh menghemat, nanti ouput perekonomian nasional turun. Lalu kalau bisnis naik juga, apa kita suruh hemat? Tidak juga. Bisnis itu sektor produktif. Kalau gedung-gedung perkantoran seperti ini disuruh menurunkan konsumsi listrik, apa implikasinya tidak ke output nasional. Saya pikir yang harus dihemat itu penggunaan listrik yang konsumtif. Misalnya lampu taman di rumah, apakah hal seperti itu dibutuhkan? Menurut saya konsumsi listrik seperti itulah yang harus dihemat. Seperti pohon disoroti lampu, ya sudah lah gak usah. Pagar rumah mewah, setiap dua meter lampu bulat-bulat, apa perlu? Kalau dimatikan dan hanya menyalakan lampu teras saja kan cukup. Hal-hal seperti itulah yang harus dihemat. Tapi apakah bisa menyuruh orang seperti itu untuk menghemat? Saya penasaran dan berdialog dengan pelanggan yang membayar rekening listrik Rp3 juta per bulan. Dia dari sektor rumah tangga, seorang Ibu. Dia bertanya, cara menghematnya bagaimana? Saya jawab, bisa saja AC jangan 24 jam nyala. Nyalakan saat ada orang atau aktivitas saja. AC kamar tidur juga jangan nyala terus, kalau mau tidur saja. Dia jawab, tidak..ah, saya mau menikmati hidup, yang penting kan saya bayar. Begitulah kira-kira bahasanya. Artinya untuk pelanggan seperti ini, kalau disuruh hemat dengan cara cuap-cuap, "eh hemat dong, hemat-hemat," tak akan mempan. Naikkan saja tarif listriknya, pasti hemat. Begitu lihat rekening listrik melonjak dari Rp3 juta menjadi Rp5 juta dia pasti berfikir, bagaimana caranya menghemat. Idealnya tarif listrik rumah tangga dan industri itu seperti apa? Kalau Anda cek websitenya PLN Jepang, Tokyo Electric Power Company (Tepco), Anda dapat bandingkan tarif rumah tangga dan industri di Jepang itu jomplang. Tarif rumah tangganya mencapai 20 sen dolar per KWh, sedangkan industri paling 12-13 sen. Lebih murah. Jadi memang sektor yang less productive itu harus dikasih tarif yang tinggi agar tidak terlalu konsumtif, agar mereka pikir kalau mereka mau duduk di taman rumahnya, dengan menyalakan semua lampu, tarifnya mahal. Sedangkan untuk industri mau menggunakan listrik berapa pun, pakai saja, karena ini dapat menaikkan output ekonomi nasional. Itu pandangan saya tentang penghematan, jadi yang harus ditembak untuk penghematan adalah sektor yang non konsumtif sedangkan sektor produktif kita fasilitasi saja penggunaan listiknya. Cuma pertanyaannya apakah mal itu konsumtif apa produktif? Itu saya tidak tau, hahaha. Gedung-gedung perkantoran dan gedung pemeritah, kalau di lobi-lobi gedung seperti itu banyak lampu yang sebenarnya dapat dimatikan, namun kurang indah, kurang mentereng kalau lampunya dimatikan. Kalau seperti itu konsumtif atau produktif? Susah menilai. Saya gak tau itu masuk ke mana. Untuk golongan rumah tangga, semua masih disubsidi? Tidak. Rumah tangga ada yang tidak disubsidi. Pelanggan 6.600 VA ke atas itu tidak disubsidi. Pelanggan di bawah 6.600 VA juga sudah ada yang mampu, kenapa masih di subsidi? Itu kebijakan pemerintah. Pertanyaan kenapa yang mampu masih disubsidi? Jawabannya adalah sampai sekarang kebijakan pemerintah dalam menentukan tarif listrik adalah mensubsidi golongan di bawah 6.600 VA. Tarif listrik kan bukan PLN yang menentukan. Kenapa PLN tidak menerapkan pembatasan seperti halnya BBM? Ya mungkin barangkali tidak dilakukan saja, kan belum dilakukan. As simple as that, tidak dilakukan saja. Kalau kita lakukan pasti timbul kesadaran itu muncul, yang kita sentuh itu pride-nya. Mobil keren kok pakai BBM bersubsidi, rumah sudah 2.200 VA kok masih disubsidi. Emang saya yang minta subsidi? Jangan-jangan nanti jawabannya begitu, hahaha. Mereka tidak punya opsi. Saya tidak mau disubsidi, tapi tidak tahu caranya. Kalau BBM kan pergi ke Pertamax, di situ gak disubsidi, begitu caranya. Sebelum pemerintah mengkampanyekan BBM nonsubsidi, saya sudah lebih dulu. Di rumah, kalau anak saya mau menggunakan mobil, saya bilang, ini uang bensin, kamu tidak boleh menggunakan Premium, kamu beli Pertamax. Anak saya langsung beli Pertamax. Kesadaran itu ada karena mereka bisa milih, saya pilih untuk tidak disubsidi. Namun, kalau di listrik tidak bisa, ga ada opsi itu. PLN bisa saja kalau disuruh menyediakan listrik 2.200 VA tanpa disubsidi, kami bisa. Paling tinggi subsidinya di kelas berapa? 450 VA, itu sampai 25-30 persen. Kelas 450 VA itu juga jumlah pelanggan kita paling banyak, hampir 19 juta pelanggan. Jika golongan 450 VA dinaikkan, memberatkan masyarakat kecil? Kalau kasihan coba Anda bikin riset kecil-kecilan. Sewaktu di Ujung Pandang, saya bikin riset dengan Universitas Hasanuddin. Berapa spending masyarakat untuk listrik, berapa untuk handphone, berapa untuk rokok, dan berapa untuk susu. Ternyata spending terbesar untuk handphone, sehingga kalau golongan 450 VA ini kita kecilkan subsidinya, paling dia mengurangi spending handphone. Rata-rata rekening listrik mereka tidak sampai Rp50 ribu. Saya pernah iseng-iseng tanya ke pelanggan, kamu bayar rekeningnya berapa? Dijawab, Rp40 ribu, Pak. Saya tanya, kalau saya naikkan 10 persen saja, keberatan tidak? Lalu dijawab, tidak apa-apa, cuma nambah Rp4 ribu. Saya tanya lagi, kalau naik 20 persen terasa berat tidak? Dijawab, tidak juga. Jadi, kalau tarif listrik kami naikkan 20 persen, kami sudah bisa menghemat subsidi triliunan. Dana triliunan itu bisa digunakan untuk investasi. Beberapa waktu lalu saya datang dalam peletakan batu pertama pembangunan pabrik PT Krakatau Steel-Posco. Saya tanya berapa investasinya, Rp30 trilliun. dan ekuitasnya hanya sepertiganya, Rp10 trilliun. Yang Rp20 trilliun pinjaman dari bank. Jadi dengan Rp10 trilliun kita bisa bikin pabrik segede Krakatau Steel-Posco. Gila yah, kalau ibu-ibu saya tanya naikin 20 persen masih mampu, dijawab gak apa-apa pak. Itu kita bisa saving beberapa triliunan dan bisa kita investasikan beberapa pabrik baja. Ini hanya soal pilihan, duit negara mau kita bakar atau untuk produktif seperti bikin pabrik baja, ini pilihan politis. Perkembangan langganan listrik prabayar bagaimana? Pemakaian listrik prabayar meledak. Kami juga tidak menyangka, kami gembar-gemborkan besar-besaran pada 2010, sewaktu Pak Dahlan Iskan sebagai dirut. Sekarang sudah 5 juta pelanggan atau 10 persen dari pelanggan PLN itu prabayar. Dan Indonesia sudah menjadi negara dengan sistem langganan listrik prabayar terbesar di dunia. Terkait:
|
![]() |
|
|