FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Health Mencegah lebih baik dari mengobati. Cari tahu dan tanya jawab tentang kesehatan, medis, dan info dokter disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Temuan ini berasal dari survei terhadap lebih dari 13.000 warga Kanada, sekitar 10% di antaranya pernah mengalami perceraian orang tua ketika mereka masih anak-anak atau remaja. "Saya pasti tidak ingin hal ini diartikan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang bercerai dikutuk akan terkena stroke," kata penulis studi Dr Esme Fuller-Thomson, seorang profesor dan Sandra Rotman Chair dari Fakultas Pekerja Sosial dan Fakultas Keperawatan dan Obat-obatan, di University of Toronto. "Ini hanyalah salah satu faktor di antara banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko stroke," kata dia. "Dan kita tidak tahu bahwa itu kausal, dalam arti bahwa perceraian mengarah ke stroke. Bisa jadi hal-hal lainnya yang bekerja di sini yang terkait dengan perceraian, tetapi tidak bercerai. Kita belum tahu." Fuller-Thomson dijadwalkan akan mempresentasikan temuan timnya di pertemuan tahunan Society Gerontological of America di New Orleans, Senin (29/11). Untuk menjawab pertanyaan, penulis menyaring data yang awalnya telah dikumpulkan pada 2005 oleh Biro Statistik Kanada. Studi saat ini difokuskan pada peserta survei dari dua provinsi Kanada, yakni Manitoba dan Saskatchewan. Hampir 1.400 dari 13.000 responden pernah mengalami perceraian orang tua, dan hanya kurang dari 2% (248 orang) mengatakan bahwa mereka telah mengalami stroke di beberapa titik. Tim peneliti melihat ke berbagai faktor yang berpotensi berpengaruh, termasuk usia, ras, jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, riwayat kesehatan mental dewasa, sejarah kekerasan fisik masa kanak-kanak, orangtua pengangguran jangka panjang, isu-isu gaya hidup (seperti obesitas, perilaku merokok dan minum alkohol), dan sejarah diabetes. Pada akhirnya, para peneliti menentukan variabel-variabel ini tidak bisa menjelaskan temuan utama bahwa anak-anak dari perceraian tampaknya menanggung risiko sekitar 2,2 kali lebih tinggi untuk stroke seumur hidup. "Hal ini perlu diulang beberapa kali untuk memastikan tidak benar hubungan ini," kata Fuller-Thomson. "Tapi kalau ini berpengaruh, satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa pengalaman buruk anak dapat melekat secara fisik pada cara Anda bereaksi terhadap tekanan dalam hidup di kemudian hari, terutama dalam hal disfungsi dalam tingkat kortisol. Tapi ini mungkin hanya hipotesis," tambahnya. "Tetapi hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika perceraian terbukti menyebabkan stroke, kita banyak melihat orang yang mengalami stroke sekarang. Mereka berusia 70-an, 60-an, dan 80-an," kata dia. "Itu berarti mereka mengalami perceraian pada 1930-an, 1940, dan 1950-an ketika konsekuensi dan konteks untuk perceraian sangat berbeda. Jadi kita tidak bisa mengambil pengalaman ini untuk proyek ke masa depan, karena ini sangat berbeda untuk anak hasil perceraian saat ini." Sementara itu, Dr Kirk Garratt, direktur klinis penelitian intervensi kardiovaskular di Lenox Hill Hospital di New York City, sepakat bahwa masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan berdasarkan temuan. "Tapi itu pasti merangsang diskusi, karena kita ingin memahami apa sebenarnya yang mendukung mekanisme ini, terutama sejak perceraian itu mungkin bukan merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Artinya, Anda tidak akan memberitahu orang-orang mereka bisa tidak bercerai karena mereka kembali akan memberikan anak mereka stroke," jelasnya. Quote:
|
#2
|
||||
|
||||
![]() Bermanfaat? gunakan ![]() Thread sampah? skip aja ndan...tidak perlu memberikan komen di thread sampah. Repost/Salkam? silahkan dimoderasi mohon partisipasinya untuk menambahkan tag ![]() |
![]() |
|
|