FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Pemerintah memang sering mengklaim (baca: mempropagandakan) jika Indonesia memiliki sejumlah prestasi. Misalnya dalam pidatonya di hadapan DPD-DPR Selasa (16/8/2011), Presiden SBY mengklaim sejumlah kemajuan, salah satunya tentang indeks persepsi korupsi di Indonesia yang terus membaik pada masa pemerintahannya serta keberhasilan melakukan proses konsolidasi demokrasi yang diakui oleh komunitas internasional sebagai proses konsolidasi terbaik di Asia dan Afrika. Selain itu, Presiden SBY juga membanggakan meningkatnya cadangan devisa dan menyebut-nyebut Indonesia sebagai emerging market yang dalam tempo 20-30 tahun ke depan, katanya Indonesia akan masuk dalam 10 besar negara maju di dunia. Prestasi-prestasi itu memang indah apa lagi disertai retorika tertata. Pun tak salah jika kita membangun optimisme, tapi masalahnya kemudian jika kembali ke kehidupan nyata rakyat di desa-desa, di kampung-kampung, di gang-gang, adakah prestasi dan optimisme itu bermanfaat dan mereka rasakan? Jika seperti ini, akhirnya kemerdekaan hanya milik sekelompok orang (elit). Rakyat sebagai pewaris sah negeri ini, hanya mampu menyaksikan dari titik terjauh buai mimpi para penguasa. Jika mau jujur, fakta sesungguhnya menggambarkan sketsa buruk wajah bangsa kita saat ini. Kemerdekaan yang dirayakan seantero negeri berada di titik nol. Hanya milik mereka yang beristana dan bertakhta. Karena nasib rakyat tak berbeda dengan nasib rakyat bangsa terjajah dan terbajak dari semua sendi kehidupan, ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan kehidupan beragama juga tak luput dari penjajahan. Dari sisi ekonomi, berbagai pujian dan apresiasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata tidak mampu mereduksi kemiskinan yang masih menghantui bangsa ini. Memakai standar baku internasional, dengan batasan penghasilan sebesar 2 dollar Amerika per hari atau setara Rp540.000 (dengan menggunakan asumsi Rp9.000 per USD), maka kita akan tercengang karena ternyata menurut Kepala Biro Humas BPS, Jousairi Hasbullah jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai hampir 100 juta orang. Padahal dengan logika sederhana, kita bisa menalar jika seharusnya pertumbuhan ekonomi itu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Namun fakta berbicara lain, pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor korporasi hanyalah berpengaruh pada penumpukan harta para kapitalis yang menamakan diri investor. Dan mereka jumlahnya hanya segelintir. Seperti dikatakan Buya Syafi�i Ma�arif bahwa menara pertumbuhan ekonomi dihuni oleh segelintir orang sementara, di dasar sana ada jutaan rakyat miskin dan papa. Selain itu, dalam ranah politik kita menyaksikan antarparpol dan antarpolitikus sering kali bertarung kepentingan. Lihat saja skandal yang menimpa partai Demokrat (dan Nazaruddin) saat ini. Semua bermuara pada kosa kata materialistik: harta dan tahta. Kesibukan para politikus nampak sekali hanya dilatari motif kekuasaan, kepentingan. Persis seperti kompeni yang sibuk menguasai sumber-sumber ekonomi kita sementara mereka terus berfikir untuk melanggengkan kekuasaan. Ini nampak jelas kita saksikan dari beberapa kali kejadian. Misalnya parpol yang tergabung di dalam koalisi pemerintahan SBY-Budiono, justru saling gertak sambal dengan menjadikan skandal yang diduga melibatkan jaringan partai berkuasa sebagai amunisi. Ketika ada isu reshuffle akibat lemahnya kinerja pembantu presiden, dengan cepat isu-isu penguas kemudian dijadikan alat sandera. Sepeti kasus mega skandal Bank Century, Mafia Pajak dan saat ini kasus Mafia Kursi Haram DPR. Fakta politik inilah yang kemudian turut mengafirmasi masyarakat untuk bertindak serupa. Berbagai konflik horizontal pun jamak kita saksikan. Baik yang berlatar belakang SARA, maupun berlatar belakang politik hingga ke daerah-daerah (akibat pilkada). Kehidupan sosial kita sangat rentan, keutuhan begitu sensitif dan mudah dibongkar. Tidak hanya sampai di situ. Di dalam ranah hukum, Rakyat kecil sering kali di jerat dengan hukum tak adil. Sementara rakyat besar dengan melenggang kangkung ke luar negeri membawa miliaran hingga triliunan uang negara. Berbagai apologi dan alibi dijadikan alasan untuk membiarkan mereka lolos. Hukum menjadi pisau bermata satu. Tajam kebawah, tumpul ke atas. Perang melawan korupsi yang kian gencar didengung-dengungkan, justru semakin menggurita hingga ke orang-orang dekat istana seperti Nazaruddin. Gurita korupsi juga terindikasi dari bertambah panjangnya daftar aparat yang menamakan diri �penegak hukum�, namun ikut terlibat kejahatan sistemik tersebut. Mulai dari Polisi hingga Jaksa. Tak heran jika peringkat korupsi Indonesia selalu menjadi yang tertinggi. Menurut survey internasional pada buan Juni 2011 yang lalu yang dibiayai oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, Indonesia menjadi negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 12 dari 13 negara di Asia Pasifik. Peringkat tersebut stabil lebih dari satu dekade terakhir sekaligus tanda bahwa koruptor dengan bebas merdeka hidup di negeri ini. Jika dengan fakta-fakta nyinyir itu masih bergembira ria menrayakan kemerdekaan, sesungguhnya kita berpura-pura dengan diri sendiri. Yang seharusnya dilakukan setiap memperingati HUT RI adalah berpakaian serba hitam sebagai simbol duka, mengajak anak jalanan, buruh, dan kelompok-kelompok marginal �terjajah� untuk ikut upacara sebagaimana dilakukan oleh rekan-rekan Pengurus Daerah KAMMI Makassar selama dua tahun terakhir. Dengan demikian, yang ingin kita hadirkan adalah gugatan kepada proklamasi kemerdekaan. Akankah ia menjadi miliki semua tumpah darah Indonesia ataukah kemerdekaan memang hanya milik segelintir penguasa? Kemerdekaan di titik nol! Spoiler for sumber:
|
#2
|
||||
|
||||
![]()
makanya
alangkah lucunya negeri ini ![]() |
![]() |
|
|