Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Misteri, Horror, Supranatural

Misteri, Horror, Supranatural Yuk baca cerita horor, lihat dan share penampakan mahluk gaib disini. Boleh juga membuka konsultasi ramalan,tarot dan sejenisnya

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default [Budaya] Sunan Gunung Jati

Quote:
Rate 5 Stars is Nice
Melon Would be Great
Say "Thanks" Would be An Appreciation



Sunan gunung Jati merupakan salah satu Wali Sepuh (selain Sunan Ampel)diantara Wali Songo, Beliau lah salah satu Wali yang mempuyai ilmu agama yang luar biasa sekaligus Linuwih (sakti), kesaktian beliau tidak hanya dari darah Siliwangi, tapi juga Tanah Mekah dan berguru dengan Guru2 lainnya.

Sunan Kalijagapun kadang meminta petuah dan kesaktian dari beliau...

ini sklumit cerita tentang beliau...
Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Reply With Quote
  #2  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default

..........
Quote:
Budaya ini milik bangsa Indonesia
Kalau bukan kita, siapa lagi yg akan melestarikannya.


Reply With Quote
  #3  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default Cerita Lain

DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --
perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan
Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.

Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,''

Yusuf, 36 tahun, menambahkan. Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.

Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terangterangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku
Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memangpergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.

Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di
kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.

Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.

Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama.
Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Bukubuku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.

Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulispertengahan abad ke-20.

Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman
sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkimpoian Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.

Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
Reply With Quote
  #4  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default Tambahan Cerita

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di P. Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah mulai masuk Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagi Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Reply With Quote
  #5  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default Sunan Gunung Jati dan Fatahilah adalah Berbeda

Ternyata naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) mengungkapkan lain dan dengan cara lain tentang identitas Sunan Gunung Djati dan Fatahillah itu. Menurut naskah ini, dua nama itu adalah jelas merujuk kepada dua tokoh yang berbeda. Orangnya ada dua, yang satu bernama Sunan Gunung Djati atau sering disebut Susuhunan Djati dalam naskah ini dan yang lainnya bernama Fadhilah Khan (Fatahillah). Fadhilah Khan-lah yang berasal dari Pasai (Sumatera) dan pernah bermukim di Demak serta memimpin armada Demak untuk menyerang ke Banten dan Sunda Kalapa. Adapun Sunan Gunung Djati adalah keturunan raja-raja Sunda (dari garis ibu) dan penguasa atau ulama dari tanah Arab (dari garis ayah). Ia lahir, dibesarkan dan dididik di tanah Arab, kemudian datang ke Pulau Jawa, tanah leluhurnya dari garis ibu. Atas persetujuan para penyebar agama Islam di Pulau Jawa (wali) yang sudah ada, ia memimpin upaya penyebaran agama dan penegakan kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat (Tatar Sunda) dengan pusat kedudukannya di Cirebon. Karena itu, Susuhunan Djati adalah pendiri kerajaan Islam Cirebon dan juga pelopor berdirinya kerajaan Islam di Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin, puteranya sendiri.

Memang antara tokoh Sunan Gunung Djati dengan tokoh Fatahillah terjalin hubungan yang erat baik kekeluargaan, peranan, kedudukan, masa hidup, tempat kegiatan maupun tempat kuburan mereka. Sunan Gunung Djati adalah mertua Fatahillah, karena puteri Sunan Gunung Djati yang bernama Nyai Ratu Ayu ditikah oleh Fatahillah. Nyai Ratu Ayu waktu itu (1524) bermukim di Demak dan merupakan janda Pangeran Sabrang Lor, putera Sultan Demak, yang meninggal tahun 1521 dalam ekspedisi armada Demak ke Malaka. Di samping itu, Fatahillah pun menikahi Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Fatah, yang telah menjanda karena ditinggal wafat oleh suaminya, Pangeran Jayakelana, putera Sunan Gunung Djati yang lain.

Keduanya memainkan peranan penting dalam upaya penyebaran agama dan penegakan kekuasaan Islam di Banten dan (Sunda) Kalapa. Keduanya pernah memegang pemerintahan di Cirebon, yaitu Susuhunan Djati memerintah tahun 1479-1568, tetapi sejak tahun 1528 sampai 1552 pelaksanaan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Pangeran Pasarean (puteranya) dan sejak 1552 sampai 1568 pelaksanaan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Fatahillah (menantunya), karena Sunan Gunung Djati memusatkan perhatian dan kegiatannya pada upaya penyebaran agama Islam di pedalaman Tatar Sunda. Patut dicatat bahwa Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552, sangat mungkin di Demak, karena ikut terlibat dalam kemelut di keraton Demak dan Sunan Gunung Djati wafat di Cirebon tahun 1568. Fatahillah memerintah di Cirebon secara penuh (tidak mewakili mertuanya lagi) pada tahun 1568 sampai tahun 1570. Pada tahun 1570 Fatahillah wafat di Cirebon. Keduanya dimakamkan di komplek Astana Gunung Djati di puncak Gunung Sembung (letak makam keduanya bersebelahan).

Menurut naskah ini, Sunan Gunung Djati lahir dengan nama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448, tiba di Cirebon tahun 1470 (dalam usia 22 tahun), menjadi kepala daerah (tumenggung) di Cirebon di bawah kuasa Kerajaan Sunda tahun 1479, tidak lama kemudian atas persetujuan para wali di Pulau Jawa menjadi pemimpin agama (panatagama) dan kepala pemerintahan Islam (rajapendeta) di Tatar Sunda yang berdiri sendiri dengan kedudukan pusatnya di Cirebon, tahun 1528 mewakilkan kekuasaan pemerintahannya kepada Pangeran Pasarean, tahun 1552 mewakilkan kekuasaan pemerintahannya kepada Fatahillah, dan tahun 1568 wafat dalam usia 120 tahun.

Adapun Fatahillah lahir di Pasai dengan nama lengkap Maulana Fadhilah Khan al-Pasey ibnu Maulana Makhdar Ibrahim al-Gujarat tahun 1490 (lebih muda 42 tahun dari Sunan Gunung Djati), tahun 1524 sudah bermukim di Demak, tahun 1526 memimpin ekspedisi armada Demak ke Banten dan (Sunda) Kalapa, tahun 1527 menjadi kepala daerah (Sunda) Kalapa yang kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta, 1546 memimpin armada Demak ke Pasuruan (Jawa Timur ) yang gagal, tahun 1548 sudah berada kembali di Kalapa dan disebut Ratu Kalapa (Jayakarta), tahun 1552 diangkat wakil Sunan Gunung Djati dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari di Cirebon, tahun 1568 menjadi penguasa penuh di Cirebon, dan tahun 1570 wafat dalam usia 80 tahun. Penguasa Cirebon selanjutnya adalah Panembahan Ratu (1570-1649), cicit Sunan Gunung Djati dari garis ayah dan cucu Fatahillah dari garis ibu
Reply With Quote
  #6  
Old 16th October 2010
zedleppelin's Avatar
zedleppelin zedleppelin is offline
Moderator
 
Join Date: Oct 2010
Location: Reg. DKI Jakart
Posts: 1,927
Rep Power: 61
zedleppelin has disabled reputation
Default

ada wasiat mulia dari Kanjeng Sunan Gunung Jati, buat kita2 semua..

INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN

skedar mengingatkan, wasiat inipun tertulis besar di gerbang jalan protokol menuju makan kanjeng sunan, wasiat mulia yg akan tetap langgeng untuk kita semua, sampai akhir jaman nanti..
Reply With Quote
  #7  
Old 26th October 2010
djuf's Avatar
djuf djuf is offline
Newbie
 
Join Date: Jun 2010
Posts: 5
Rep Power: 0
djuf mempunyai hidup yang Normal
Thumbs up

TOP

Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 04:42 AM.


no new posts