FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]()
�Bencana, musibah di mana-mana. Di sana banjir, di sini kering. Jauh di ujung, ada kampung digoyang gempa �.� Kedua matanya menatap serius harian pagi yang dipegangnya.
Dulah yang duduk di samping Parmin memandangi sahabatnya itu. �Ngomong sama siapa, mas Parmin?� tanya Dulah �Siapa saja yang bisa menjawab kebingunganku ini �� �Kenapa? Hidup cuma sebentar aja kok dibuat bingung � �Kamu baca ini, Dul. Hantu malapetaka gentayangan ke seluruh bagian bumi tempatmu tinggal, menebar sengsara di sana sini, mulai dari barat sampai timur, dari desa sampai kota, dari pucuk nggunung sampai tengah laut, kayak gak selesai-selesai orang-orang itu harus menangis. Di Sumatra, ada kampung terendam banjir. Di Jawa ada desa direndam lumpur. Mudik lebaran kemaren, ada kapal dan penumpang tenggelam di laut. Di Jakarta ratusan rumah musnah hangus, Sulawesi siaga gunung meletus. Besok ada apa lagi ?�.. tinggal di bumi seperti sudah nggak aman lagi rasanya� �Akhir-akhir ini, berita seperti itu sudah jadi barang biasa� �Tapi yang bikin aku heran, kenapa hampir semua korbannya selalu orang-orang kecil, orang-orang biasa ? Kok gak pernah kedengaran ada berita, misalnya: pejabat yang sukanya mark up proyek negara, tewas karena kecelakaan apa gitu; atau konglomerat yang bawa kabur BLBI, rumahnya hancur kena banjir. Rasanya kok �� gimana ya ?� �Takdirnya memang gitu kali ya, nggak tahulah� jawab Dulah sekenanya �Yah, maksudku kenapa harus begitu ?� tanya Parmin masih belum puas �Mboh ya, mas �. Coba sampeyan tanya sama dia� Jack yang sedari tadi asyik sebal-sebul rokok sambil nguping obrolan kedua orang itu, menjadi tertarik untuk ikut nimbrung. �Iya, Jack � menurutmu gimana? Kenapa takdirnya mesti begitu? � tanya Parmin �Kok nanya aku? Lha yang bikin takdir itu siapa, Min?� kata Jack balik bertanya �Ehhh� ya tentu Tuhan-lah� �Ya, sudah � tanyakan aja sama Tuhan !� kata Jack sambil ketawa cekikian �Kamu ini, Jack�.� �Lho, disuruh tanya sendiri kok malah bingung. Ndak ada yang nglarang kok, sumpah!� Jack memperhatikan wajah memelas si Parmin lengkap dengan hiasan ornament kebingungannya. �Ndak apa-apa kita bertanya, Min. Kita boleh menggunakan hak prerogatif yang diberikan Tuhan untuk bertanya. Karena itu adalah konsekuensi logis dari kebebasan memilih. Justru kalau orang nggak pernah bertanya, itu patut kita curigai. Jangan-jangan dia sudah mati sebelum waktunya. Cuma masalahnya, Min, terkadang kita harus mengakui ada wilayah-wilayah khusus yang akal kita tidak bisa masuk. Kalau sudah begitu, kita harus tahu diri, Min. Kalau nggak, kita nanti malah muter-muter dengan teori kita sendiri. Mungkin ini cara Tuhan buat bikin kita sadar, biar kita nggak suka gemedhe, rumangsa gagah, sadar kalau otak kita ini sebenarnya cuma kecil , kita sendiri saja yang sukanya ge-er � �Mungkin maksud dia, Jack, cuma ingin tahu yang wajarnya itu bagaimana sih. Kenapa orang-orang kecil selalu nggak lepas dari masalah? Mulai dari kebanjiran, kena lahar, rumah kegusur �. Ceitanya kok ya begitu-begitu aja� �Wajar nggak wajar itu menurut ukuran siapa, Dul ? Min ? Ada lagi istilah �orang kecil�, �orang biasa�, �orang bawah� � itu istilah kita sendiri yang suka bikin-bikin, sampai kita bingung sendiri, padahal kita semua diciptakan sama� ��.. mboh wis, Jack� jawab Parmin sambil garuk-garuk kepala �Lha, sampeyan bingung dhewe kan? Tahu kenapa? Soalnya sampeyan itu sukanya memaksa Tuhan masuk ke kerangka logika. Sampeyan nggak boleh egois, Min. Kalau benar kita mengakui Tuhan sebagai Yang Maha, Maha dan Maha, mustinya sadar kalau ada hal-hal di atas kemampuan nalar��. � �Jadi menurutmu harus gimana, Jack? Pasrah aja ?� tanya Dulah �Terima nasib, tapi nggak boleh pasif. Maksudku, daripada logika kita capek akrobat kanan kiri mencari tahu maksud Tuhan itu apa, yang nggak jarang ujung-ujungnya malah melempar Tuhan dalam posisi bersalah, apa nggak lebih baik kalau kita pandang peristiwa itu untuk pelajaran? Syukur-syukur batinmu juga ikut mendapat pencerahan. Lihatlah orang-orang Jepang, lihatlah ketabahan mereka! Orang-orang Jepang itu sadar, tanah yang mereka tinggali adalah tempat paling berbahaya di dunia dalam hal seringnya gempa dan gunung meletus. Toh orang-orang Jepang itu nggak jadi murtad. Toh orang-orang Jepang itu bisa menerima dengan dada lapang. Toh saudara tua kita itu akhirnya bisa berdamai dengan alam, bahkan menjadi orang yang paling paham tentang perilaku gunung -gunung. Dan sekarang, sarjana-sarjana kita belajar tehnologi mereka. Bayar mahal tentunya, Dul � Lihatlah tsunami di Aceh yang datang tiba-tiba mengamuk itu. Mata awam boleh mengatakan itu musibah, azab, pembalasan dosa, dan macam-macam lainnya �. Tetapi siapa pernah menyangka, ternyata tsunami justru merekatkan emosi di antara orang-orang Aceh yang sekian tahun porak poranda oleh perang dan konflik? Lihatlah, rakyat Aceh telah dipersaudarakan kembali oleh rasa sakit yang sama. Katakan sekarang, apa kamu masih menyalahkan Tuhan? Aneh? Itu bahasa logikamu saja, Min. Bingung? Itu sampeyan sendiri yang sukanya bikin bingung. Memang begitulah perilaku Tuhan. Acap kali Dia bekerja di luar service area logikamu. Jadi, khusus untuk Dia, jangan sekali-kali kamu menggunakan patok-patok benar dan salah, kalau kamu tidak ingin jungkir balik babak bundhas ndak karuan. Tidak ada manusia di jagat ini yang bebas sepenuhnya dari masalah atau bencana atau pagebluk atau huru-hara atau apalah kamu mau mengistilahkannya. Bahkan ada orang-orang yang menyederhanakan kehidupan ini dengan sebuah kata: penderitaan! Hanya saja kebencian berlebihan yang membuat semua ini menjadi semakin berat dan semakin berat lagi. Ada yang benci pada diri sendiri, ada yang membenci orang tua, suami, istri, teman, tetangga, atasan kerja, bahkan ada yang benci Tuhan setengah mati Kalau kamu masih sering mengira orang sengsara, orang kehilangan keluarga dan harta, atau orang yang mati tenggelam sebagai lukisan-lukisan keburukan, itu artinya kamu belum mengenal Tuhan. Kalau kamu masih mengira kenyamanan, kesenangan, atau harta melimpah sebagai nilai-nilai baik dan benar, itu artinya kamu masih suka menempatkan Tuhan sesuai kehendakmu sendiri. Kamu anggap Tuhan itu baik, kalau kamu mendapatkan yang enak-enak, yang gampang-gampang saja, padahal itu justru sering melemahkan naluri bertahan hidupmu, naluri belajarmu, sehingga ketika bencana datang lagi ke kehidupanmu, rasa sakit yang sama akan berulang lagi. Terus kamu anggap Tuhan itu jahat, diktator atau pendendam, kalau kamu mendapatkan yang nggak nyaman, yang bikin kamu susah dan ngrepoti, padahal seringkali yang bikin nggak enak itu malah bisa membangun ketahanan dalam jiwamu, mengasah mutiara pengetahuan hidupmu�� �Aku setuju itu, Jack. Dan akhirnya, mutiara itu akan mengantar kita ke derajat lebih tinggi dari mahkluk yang lain, bahkan di antara sesama manusia sendiri, antara yang berilmu dan yang kosong�� kata Dulah �Iya ya �Berarti itu nafsu ya, Jack, nafsu semuanya. Nafsu maunya selau mengajak yang enak-enak saja, hidup senang tapi nggak mau ada masalah� kata Parmin menambahkan �Seperti itu yang harus kita buang ke kotak sampah, Min. Jangankan orang hidup, orang yang sudah mati saja masih meninggalkan masalah, nguburnya di mana? utangnya siapa yang bayar? Warisannya siapa yang pegang? Kalau kita mau jujur ya, lha wong di hadapan Dia sebenarnya kita itu nggak punya hak apa-apa kok, bahkan untuk diri kita sendiri. Ruhmu sendiri yang cuma sak lembar itu pun bukan milikmu. Terserah Tuhan untuk menciptakan, merubah, memiliki, menguasai, menjungkir balikan apalagi menghancurkan apa saja yang menjadi milik-Nya. Suka-suka Dia kan? Suka-sukanya Dia, apakah membiarkan saja Nabi Ibrahim gosong oleh apinya Namrud atau menyuruh api untuk tunduk sujud pada Nabi mulia ini. Contohnya seperti itu. Tapi ingat, semuanya itu bukan sim salabim, apalagi sekedar pamer kekuasaan. Nggak usah pakai pamer-pameran, Tuhan itu sudah Perkasa, sudah pantas untuk ditakuti� �Kadang-kadang agak sulit memisahkan rahmat dengan laknat, Jack� kata Dulah �Katakanlah bencana itu adalah hukuman seperti yang kamu bilang, Dul, semoga itu akan membakar dosa-dosa kemanusiaan masa lalu, sehingga pada saatnya kita pulang nanti nggak terlalu berat kompensasi yang harus dipikul. � �Ya ya ya .. Buruk sangka kepada manusia saja tidak baik, ya Jack, apalagi buruk sangka kepada Tuhan. Duh, Gusti sing Maha Agung, ampuni otakku yang penuh kotoran ini� kata Parmin sambil garuk-garuk kepala, entah bingung, atau apa nggak tahu. |
![]() |
|
|