FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]() Hindarilah Kemelekatan " Janganlah melekat pada apa yang dicintai ataupunyang tak dicintai. Perpisahan dengan apa yang dicintai adalah suatu penderitaan. Perjumpaan dengan apa yang, tak dicintai juga merupakan penderitaan." (PiyaVaggaXW:210) Kalau ditanya apa sich yang diajarkan oleh Sang Buddha..? Jawabannya cuma satu yaitu meraih kebahagiaan yang sesungguhnya, yang terbebaskan dari ketidaktahuan (kebodohan) yaitu jauh dari kemelekatan akan keduniawian dan yang tak terjerat lagi oleh manis atau pahitnya kata-kata duniawi alias terbebaskan dari yang namanya derita atau ketidakpuasan di dalam"dukkha''samudaya ariya sacca : kesunyataan mulia tentang asal-mulanya derita". Sang Buddha menyatakan bahwa derita yang di alami semuanya bersumber dari "tanha : nafsu keinginan (kemelekatan)" dikarenakan kemelekatan yang begitu eratnya membelenggu batin seseorang maka sampai teganya untuk melakukan tindakan tercela(mabuk-mabukkan, hura-hura, merampok berkelahi bahkan jadi gila)di kala apa yang diinginkan tak berhasil di raih. Boleh dikatakan bahwa kemelekatan merupakan awal dari penderitaan yang membelenggu batin seseorang. Banyak dijumpai di*tengah-tengah masyarakat terjadi kenekatan perbuatan hanya dikarenakan masalah yang sepele Kita ambil contoh misalnya: Si Ani, hanya karena gagal ujian langsung "harakiri/bunuh diri". Begitu juga halnya dengan Si X. langsung memusuhi kedua orang tuanya hanya karena dinasehati untuk jangan melanjutkan hubungan asmaranya. Si C, pun ditemukan jadi pasien penyakit jiwa hanya karena dikhianati oleh kekasih yang tak setia. Masih banyak lagi kasus kemelekatan yang dijumpai ditengah-tengah masyarakat yang mana berdampak negatif, baik bagi ma*syarakat disekitarnya maupun pribadi si pemilik. Dimasa kehidupan Sang Buddha pun pernah di jumpai suatu kasus dimana akibat dari kemelekatan, seseorang yang pada awalnya terkenal cantik dan rupawan akhirnya menjadi gila. Kisah ini tertera di dalam kitab suci Dhammapada Attakatha. Inilah kisahnya. Dikisahkan pada waktu itu terdapat seorang anak perempuan yang sangat cantik dan rupawan bernama Patacara, putri seorang saudagar yang kaya raya di kota Savatthi. Dikarenakan kecantikannya, Patacara diincar oleh sejumlah pemuda untuk dijadikan pasangan hidup. Ketika berusia l6 tahun,ia dipingit oleh ayahnya dan ditempatkan dilantai 7 yang merupakan lantai tertinggi dari istana dan di jaga ketat oleh para pengawal. Namun diluar dugaan ayahnya, Patacara justru menjalani hubungan dengan se*orang pelayan prianya. Orang tua Patacara telah menjanjikan untuk menikahkannya dengan seorang pemuda dengan latar belakang yang baik dan mereka juga telah mempersiapkan hari pernikahannya. Ketika hari pernikahan semakin dekat. Patacara mengambil suatu keputusan yang nekad. Jika engkau mencintai diriku maka janganlah menunda-nunda waktu lagi. Carilah jalan untuk mengeluarkan di*riku dari tempat ini. Demikianlah minta Patacara kepada sang kekasih. Baiklah, esok hari pagi sekali aku akan menunggumu di gerbang kota, temuilah aku disana besok jawab ' si kekasih. Keesokan harinya Patacara mengenakan pakaian yang kotor dan compang camping, membiarkan rambutnya terurai tak beraturan dan mengolesi tubuhnya dengan bubuk merah untuk mengelabuhi pengawal yang menjaganya. Dengan membawa pot air di tangannya dan dikelilingi oleh para pelayan wanita, seolah-olah ingin mengambil air, dan Patacara berhasil keluar dan menemui kekasihnya ditempat yang telah disepakati sebelumnya. Mereka akhirnya kawin lari dan menetap di sebuah desa yang terpencil. Sang suami bercocok tanam dan isterinya mengambil air, menumbuk padi, memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Setelah beberapa tahun kemudian, Patacara hamil dan saat melahirkan hampir tiba, dia meminta suaminya agar mengantarnya ke rumah orang tuanya, namun permintaan tersebut ditolak suaminya sehingga Patacara diam-diam pergi meninggalkan suaminya. Mengetahui Patacara telah pergi sang suami mengejar untuk menyusulinya dan bertemu di pertengahan jalan. Tak lama kemudian Patacara merasakan saat-saat melahirkan mungkin tiba. Lalu ia membaringkan tubuhnya di atas semak-semak dan melahirkan seorang putra yang mungil. Karena alasan untuk pulang ke rumah orang tuanya telah selesai, Patacara kembali pulang ke rumah bersama suaminya. Beberapa tahun kemu*dian Patacara hamil kembali dan saat melahirkan hampir tiba, ia pun mengulangi lagi permintaannya yang seperti dulu dan kembali mendapatkan jawaban yang sama dari suaminya Lalu untuk kedua kalinya, secara diam-diam,Patacara membawa pergi putranya untuk melahirkan di rumah kediaman orang tuanya. Mengetahui prihal ini, suaminya kembali mengejar dan memintanya untuk segera kembali tapi ditolak Patacara. Tiba-tiba datang badai dan hujan yang deras tanpa hentinya. Pada saat tersebut mereka berada di pertengahan jalan, Patacara merasakan saat melahirkan yang hampir tiba sehingga ia meminta suaminya untuk membuat tempat berlindung dari hujan. Sang suami dengan pikiran yang kusut dan kacau, berlari kesana kemari dan akhirnya menemukan semak belukar. Pada saat ia akan memotong semak belukar ter*sebut, secara tiba-tiba muncul seekor ular yang sangat berbisa dimana langsung mematuk tubuhnya dan beberapa saat kemudian terasa sangat panas seakan-akan terbakar sehingga akhirnya sekujur tubuhnya berwarna ungu bagaikan jilatan petir. Ia meninggal dunia seketika itu juga! Patacara yang menunggu suaminya dengan penuh harap akhirnya melahirkan putra kedua tanpa didampingi oleh suaminya tercinta. Karena cuaca yang sedemikian dinginnya, kedua anaknya menangis sekerasnya. Patacara berusaha menghangatkan kedua putranya, tubuh*nya pucat seakan-akan tiada darah yang mengalir ditubuhnya, Ketika fajar mulai menyingsing, Patacara menggendong bayinya yang masih merah dan menuntun putranya sambil berkata "Marilah kita pergi, ayahmu telah meninggalkan kita". Di pertengahan jalan Patacara melihat mayat suaminya yang ungu dan terbujur kaku. Sambil menangis ia melanjutkan perjalanannya. Hujan yang turun dengan derasnya semalam telah menyebabkan air sungai Aciravati naik. Karena terlalu lemah untuk mengarungi arus sungai dengan kedua anaknya Patacara meninggalkan putranya ditepi sungai yang lain, ia meMakkan bayinya dan kembali menyeberang sungai untuk membawa putranya. Tapi Pa*tacara tak tega meninggalkan bayinya sehingga ia berkali-kali ia menengok ke bayinya. Patacara hampir tiba di tengah sungai ketika seekor elang datang dan mengira bayinya yang merah dalah seonggok daging. Melihat hal itu Patacara segera mengangkat tangannya dan berteriak keras mengusir burung elang itu hus. -.hus.hus! Tiga kali ia berteriak namun burung elang itu terlalu jauh untuk mendengar teriakkannya dan akhirnya menangkap Sang Bayi dan membawanya membumbung tinggi ke angkasa. Saat melihat ibunya berhenti di tengah sungai dan mengangkat tangannya serta berteriak, putranya mengira ; Patacara memanggilnya. Dan : dengan tergopoh-gopoh, ia turun ke sungai dan terbawa oleh arus. Melihat kedua peristiwa ini kondisi batin Patacara sangat tergoncang sekali. Ia menangis dan meratapi kemalangan ini sambil beranjak meninggalkan tempat tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah orangtuanya di Savatthi. Dalam perjalanan ke sana ia bertemu dengan seorang yang berasal dan Savatthi. Patacara langsung bertanya "Tuan dimanakah tuan tinggal... ?kemudian dijawabnya. Tapi janganlah bertanya kepadaku tentang keluarga itu. Bertanyalah tentang keluarga yang lain. Tuan saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga yang lainnya Hanya keluarga inilah yang ingin kutanyakan....Baiklah hujan yang telah turun semalaman telah merobohkah rumah saudagar itu dan menimpa saudagar dan isterinya serta putranya. Mereka semuanya binasa dan kini para sanak keluarga dan tetangga sedang membakar mayat me*reka. Lihatlah disana anda dapat melihat asapnya sekarang". Mendengar berita ini, kesadaran Patacara langsung hilang. Kini ia menjadi orang gila. Pakaiannya compang camping, ia berjalan terus sambil menangis dan meratapi tanpa adanya rasa malu sedikitpun juga. Setiap orang yang melihatnya pada berteriak...gila...gila...!. Sejumlah berandalan melemparkan sampah menaburkan debu dan menghujani dengan umpalan tanah. Pada saat tersebut Sang Buddha sedang berada di vihara Jetavana. Ketika membabarkan Dharma (ajaranNya) kepada para pengikutnya, beliau dengan mata keBuddhaan-Nya (Buddha Cakkhu) melihat Patacara dari kejauhan dan mengenalnya, yang seratus ribu tahun yang lampau pernah bertemu dengan Budha Pamuttana. Pada masa tersebut Budha Pamuttana pernah bersabda: "Pada zaman seorang Buddha yang bernama Gautama perempuan ini akan terlahirkan dengan nama Patacara dan akan memperoleh keunggulan di antara Bhikkhuni yang ahli Dharma..." Di saat Patacara hendak mendekati Sang Buddha, para pengikutNya spontanitas berteriak "jaga jangan sampai perempuan ini kesana...!. Sang Buddha, langsung menegur mereka biarkanlah ia". Dan ketika Patacara hendak mendekati Sang Buddha seketika memancarkan cinta kasih dan kasih sayangNya sambil berkata dengan lembutnya "Saudaraku, kembalilah ke akal sehatmu". Dengan kekuatan kesucian dan keluhuran Sang Budha Patacara yang telah gila, langsung kembali menjadi sadar. Dan di saat itu juga ia menyadari bahwa penampilannya adalah tidak pantas dimana pakaian yang dikenakan badannya kotor serta compang camping. Ia malu dan merunduk badannya ke tanah. Seseorang lalu menyerahkan jubahnya untuk dipakai Patacara, setelah menghormati Sang Budha ia berkata : "Yang mulia, salah satu anakku dibawah pergi oleh seekor elang dan yang lainnya hanyut di sungai. Di samping itu suamiku telah mati karena dipatuk oleh ular yang berbisa. Orang tua dan saudaraku telah binasa dan kini tubuh mereka sedang dibakar." Sang Budha mendengarkan keluhan Patacara dengan penuh cinta kasih dan kemudian memberikan wejangan. Seketika Patacara mulai sadar dan memohon untuk di tahbiskan menjadi seorang Bhiksuni. Kemu*dian Sang Budha bersabda :" Patacara, bagi seorang yang ingin kepantai seberang bukan keluarga, bukan pula teman dapat menjadi pelindung. Ia yang bijaksana akan menjaga tindak tanduknya dan dengan demikian ia tengah meniti jalannya ke Nibbana." Setelah mengakhiri khotbahnya, Patacara langsung mencapai tingkat kesucian pertama yaitu Sotapanna. Suatu hari ia mengisi potnya dengan air dan menuangkannya untuk membasuh kakinya, ia melihat bagaimana air itu mengalir melalui kakinya. Dilihatnya ada 3 aliran air: 1. Sebagian mengalir dan lenyap didekat kakinya. 2. Sebagian mengalir agak jauh dari yang pertama. 3. Sebagian mengalir lebih jauh dari yang kedua gambaran dari air yang mengalir menandakan untuk bermeditasi merenungkan ketidakkekalan dari kehidupan ini. "seperti air yang pertama mengalir dekat kakiku dan menghilang, begitu pula makhluk hidup akan mati pada usia pertengahan. Seperti air ketiga air yang meng*alir lebih jauh, begitu pula makhluk hidup akan mati pada usia tua." Melihat kemajuan batin yang dimiliki oleh Patacara, Sang Buddha kemudian menyabdakan sebait Syair: "Walaupun seorang hidup seratus tahun lamanya tapi tidak mengerti tentang timbul dan lenyapnya segala bentuk ke*hidupan ini. Sebenarnya lebih baik hidup sehari tapi dapat mengerti timbul lenyapnya segala bentuk kehidupan ini". Setelah mendengarkan syair ini, Patacata mencapai tingkat kesucian tertinggi Arahat. |
![]() |
|
|